Perlukah UN di Era Otonomi ?

publisher

Updated on:

AKHIR-akhir ini sekolah disibukkan dengan kegiatan persiapan menjelang Ujian Nasional (UN). Hari-hari siswa, guru, bahkan orangtua dipenuhi dengan aktivitas persiapan perhelatan ujian akbar tersebut.  Aktivitasnya berlangsung hampir setiap tahun.  Sekolah-sekolah melakukan les tambahan, menggelar try out, hingga do’a bersama menghadapi UN.

UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Karena pada, pasal 57-59 UU tersebut,  hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya  belum tentu UN.

Namun, oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan UN dari SD hingga SMA. PP inilah yang menjadi dasar digelarnya UN.

Menurut hemat penulis, UN ini merupakan implementasi kegiatan pemerintah yang salah kaprah.  Kebijakan UN telah membuat pendidikan kita berorientasi pada nilai dan hasil akhir. Padahal, nilai UN juga tidak bisa menjadi barometer, apakah siswa bisa menerapkan ilmunya di masyarakat atau tidak.

Standar pendidikan kita baru kepada angka-angka yang juga sulit dipertanggungjawabkan secara empiris. Misalnya, apakah seseorang yang memiliki nilai mata pelajaran  matematika pada  UN  10, bisa menguasai kompetensi  dalam  mata pelajaran matematika.  Tentu, belum pasti.

Lantas, bagaimana jika dihubungkan dengan pola hidup dan pandangan masyarakat yang cenderung kapitalistik.  Dimana tingkat kesuksesan seseorang dipandang dari kekayaan yang dimilikinya.  Adakah jaminan orang yang sukses UN bisa sukses mengimplementasikan ilmunya kemudian sejahtera dalam hidupnya ? Inilah  juga tak bisa kita jawab.

Bolehlah pemerintah beralibi bahwa UN sangat penting. Karena bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu  dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi.  Tapi, dengan fasilitas, kompetensi guru, gizi siswa dan pola pengajaran yang berbeda, adilkah UN diterapkan secara massif dan terstruktur secara nasional ?

Untuk mengevaluasi pendidikan boleh-boleh saja dilakukan.  Tapi polanya tentu juga harus dengan otonomi.  Artinya, daerah diberikan kesempatan memilih pola tersendiri yang sesuai dengan kemampuan guru dan  fasilitas yang dimiliki daerah.

Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah,  harusnya kran reformasi dibidang pendidikan dibuka seluas-luasnya. Termasuk dalam pelaksanaan evaluasi bidang pendidikan.  Pemerintah cukup menyediakan anggaran, sedangkan teknis evaluasi diserahkan ke daerah. Berikanlah kesempatan kepada daerah untuk membuat sistem pendidikan sesuai dengan kultur dan geografis daerahnya.

Pembangunan  pendidikan berbasis lokal akan memperkokoh budaya masyarakat setempat.  Tidak seperti sekarang, pendidikan hanya untuk melegitimasi seseorang meraih dan menempati posisi tersebut.  Output pendidikan belum berhasil menciptakan manusia yang berwawasan global dan berbudaya lokal.  Budaya lokal seolah tercerabut dari akarnya. Itulah ironisnya pendidikan kita.

Bertolak dari pandangan di atas, pendidikan di Jambi, idealnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Apa yang menjadi kebutuhan Jambi di masa mendatang, harus dapat terbaca pada saat ini.
Dalam hal ini Jambi memiliki kultur masyarakat melayu. Daerah ini mempunyai kekayaan alam yang melimpah, baik itu minyak, batubara,  sawit, karet dan tidak menutup kemungkinan adanya emas.
Dengan demikian salah satu tantangan yang harus dijawab adalah harus dapat memanfaatkan potensi daerah yang berbasis budaya lokal secara maksimal. Pemikiran serta kajian ke arah penggalian potensi daerah tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting dan strategis.  Ini semua tentunya ditujukan untuk masyarakat Jambi yang adil, makmur, sejahtera, aman dan sentosa.