JAMBI, berjambi.com – Berdasarkan laporan Indeks Kualitas Udara Kehidupan (AQLI) yang berbasis di Chicago, Amerika Serikat menyebutkan, jika diukur dari angka harapan hidup, polusi udara menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia. Bahkan mengalahkan penyakit kronis seperti diabetes dan infeksi ginjal.
Digitalisasi Desa Percepat Kemajuan BUMDesa, Ini Faktor Pendorongnya
Berdasarkan laporan AQLI, polusi udara yang berisi partikel halus (PM 2.5) berpotensi mengurangi usia hidup rata-rata warga Indonesia hingga 1,4 tahun dibandingkan jika kualitas udara di Indonesia memenuhi standar WHO, yakni 5 µg/m³.
Jika polusi udara mampu memangkas 1,4 tahun usia kehidupan rata-rata penduduk, artinya lebih tinggi dari penyakit diabetes dan ginjal. Mengingat, kedua penyakit tersebut hanya bisa menurunkan rata-rata harapan hidup sebesar 1,2 tahun. Di sisi lain, infeksi pernafasan terbukti dapat menurunkan angka harapan hidup sebanyak satu tahun.
Alhamdulillah ! Putra Puteri Terbaik Jambi Lolos Jadi Komisioner Bawaslu, Ini Nama-namanya
Sementara itu, hasil temuan riset secara global, seseorang yang terpapar polutan halus dalam udara sebanyak 10 µg/m3 (PM 2,5) dapat memangkas angka harapan hidup sampai 0,98 tahun. Menurut laporan tersebut, di Banglades, negara dengan tingkat polusi tertinggi pada 2021, usia hidup warganya dapat berkurang hingga 6,8 tahun akibat pencemaran polusi udara PM2.5 yang jauh melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tidak Ada yang Baku, Ini Dia Sistem Pemilihan Kepala Negara Dalam Islam
Temuan lain dari riset tersebut, Indonesia, bersama dengan China, India, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria menyumbang 75% dari total beban polusi udara global.
“Tiga-perempat dari dampak polusi udara terhadap angka harapan hidup global berasal dari enam negara, Bangladesh, India, Pakistan, Tiongkok, Nigeria, dan Indonesia, di mana orang-orang kehilangan satu hingga lebih dari enam tahun usia hidup mereka karena udara yang mereka hirup,” kata Michael Greenstone, pendiri riset AQLI bersama rekan-rekannya dari Institut Kebijakan Energi (EPIC) Universitas Chicago dalam laporan yang dirilis pada Selasa (29/8). (***)