PULAU REMPANG: REFLEKSI FILSAFAT TENTANG KONFLIK DAN KEHARMONISAN

publisher

Pulau Rempang, sebuah permata tersembunyi di Kepulauan Riau, mungkin tidak dikenal oleh banyak orang di luar wilayah tersebut. Pulau ini merupakan salah satu pulau di wilayah kabupaten Kepulauaan Riau. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Juni 1992,  pemerintah melakukan penambahan wilayah kawasan industri di Pulau Batam. Dikarenakan adanya keterbatasan daya dukung, masuklah Pulau Galang dan Rempang  yang berstatus kawasan berikat tersebut. Berdasarkan situs Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA RIAU), Pulau Rempang dipilih sebagai salah satu kawasan perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya berdasarkan keadaan populasinya.

Pulau ini dihuni oleh masyarakat setempat, dan kehidupan sehari-hari mereka sering terkait dengan kegiatan nelayan dan sektor kelautan lainnya. Beberapa tempat di Pulau Rempang mungkin menjadi objek wisata lokal, termasuk pantai-pantai indah, dan kegiatan berlayar. Namun, informasi tentang objek wisata di pulau ini mungkin telah berubah sejak September 2021.

Seperti banyak pulau di Kepulauan Riau, Pulau Rempang juga memiliki keanekaragaman hayati yang menarik. Ekosistem laut di sekitar pulau ini penting untuk pelestarian lingkungan. Pulau Rempang juga memiliki sejarah dan budaya yang kaya. Pengaruh budaya dari berbagai etnis di Indonesia dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pulau ini. Untuk mencapai Pulau Rempang, Dapat menggunakan perahu dari berbagai pelabuhan di Kepulauan Riau, terutama dari Pulau Bintan atau Pulau Batam. Namun saat ini, Pulau Rempang  menjadi pusat perhatian dan kontroversi akibat kericuhan yang terjadi di sana.

Pada tahun 2001, konflik lahan di Pulau Rempang dimulai ketika pemerintah pusat dan BP Batam mengeluarkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada sebuah perusahaan swasta. HPL tersebut kemudian dialihkan ke PT Makmur Elok Graha. Akibatnya, masalah status kepemilikan lahan bagi masyarakat yang telah lama tinggal di kawasan tersebut semakin rumit. Para nelayan yang sudah mendiami Pulau Rempang selama puluhan tahun menghadapi kesulitan dalam memperoleh sertifikat kepemilikan lahan. Konflik lahan pada awalnya tidak muncul, karena perusahaan yang memegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) belum mulai mengelola bagian Pulau Rempang. Namun, konflik mulai timbul ketika pemerintah pusat, BP Batam, dan perusahaan pemegang HPL, yaitu PT Makmur Elok Graha, memulai proyek yang dikenal sebagai Rempang Eco City. Proyek ini diharapkan dapat menarik investasi besar ke kawasan tersebut, dan itulah saat ketegangan seputar kepemilikan lahan mulai muncul.

Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa situasi di Pulau Rempang bukanlah kasus penggusuran, melainkan pengosongan lahan. Hal ini disebabkan oleh pemberian hak atas tanah oleh negara kepada sebuah perusahaan pada tahun 2001 dan 2002. Mahfud MD menjelaskan bahwa Pulau Rempang sudah diberikan hak guna usaha kepada entitas perusahaan pada periode tersebut. Kemudian ketika investor mulai masuk ke pulau Rempang pada 2022 namun tanahnya sudah ditempati. Dalam proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi kericuhan antara aparat dan masyarakat setempat.

Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, lahan yang menjadi penyebab konflik di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Dalam pernyataannya, Hadi mengungkapkan bahwa masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang tidak memiliki sertifikat tanah karena pada masa lalu, kepemilikan lahan di kawasan tersebut berada di bawah otoritas Batam. Hadi menjelaskan lebih lanjut bahwa lahan yang akan digunakan sebagai lokasi Rempang Eco City memiliki luas sekitar 17 ribu hektar dan sebagian besar merupakan kawasan hutan. Dari total luas tersebut, sekitar 600 hektar merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dikeluarkan oleh BP Batam. (Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi)