HILIRISASI menjadi salah satu kosakata ekonomi yang bergemuruh dalam debat Cawapres semalam. Dulu istilah ini lebih dikenal dengan transformasi ekonomi. Dari yang berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis high technology yang padat modal. Intinya, memang pergeseran ekonomi sudah semestinya dilakukan. Agar supaya nilai tambah atau value addid sebuah negara menjadi meningkat. Negara akan berhenti denyut ekonominya (setidaknya berjalan pelan) bila pekerjaannya hanya memproduksi dan jualan bahan baku.
Hanya saja membuat konsep hilirisasi memang mudah. Tapi mengimplementasinya sangatlah sulit. Konsep hilirisasi ini butuh SDM yang berkualitas ditambah modal yang cukup besar. Tenaga kerja yang dimiliki harus punya kualifikasi pengolah, bukan hanya penanam atau pengeksplorasi. Mesin dan teknologi tidak hanya dikuasai, namun juga dimiliki. Hanya saja kondisi hari ini modal besar cuma sanggup diakses oleh segelintir orang. Akibatnya, jika tidak hati-hati, hilirisasi menjadi sumber kesenjangan pemerataan ekonomi.
Selain itu, konsep hilirisasi ini juga harus bisa mendayagunakan sumber ekonomi lokal. Ekonomi lokal menjadi alas hilirisasi: bukan hanya lokasinya, tapi juga pemainnya. Ekonomi lokal menjadi “teritori” yang sifatnya menyemai,bukan mengisolasi.
Berbeda dengan hilirisasi, konsep pemerataan melalui distribusi anggaran ke desa desa justru lebih membumi. Mengingat desa merupakan wilayah otonomi terendah dalam sistem ketatanegaraan. Memakmurkan desa pada akhirnya akan memakmurkan Indonesia.
(Penulis adalah Ketua Departemen Pendampingan DPP Forum BUMDes Indonesia )