SUATU ketika, saat Rasulullah Muhammad SAW sedang sakit dan kondisinya makin lemah, beliau memanggil Aisyah Ra (istrinya) untuk mengambil uang yang pernah dititipkannya. Uang tak seberapa itu tetiba diingat lagi oleh Nabi dan diminta dibagikan kepada yang membutuhkan. “Alangkah malunya aku kepada Allah SWT jika masih menyimpan harta,” begitu kurang lebih yang disampaikan Nabi kepada Aisyah Ra.
Bagi Rasulullah, harta tak boleh ditumpuk, justru mesti tersebar merata ke seluruh umat. Harta yang diendapkan hanya akan jadi beban, bukan berkah. Pengadilan hari akhir yang akan melenyapkan.
Konon, suatu ketika Nabi SAW bersabda “Abdurrahman bin Auf akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya. Orang paling kaya akan dihisab paling lama,” begitu sabda Nabi.
Oleh karena itulah, dalam ilmu ekonomi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan itu harus seiring sejalan. Pertumbuhan tanpa pemerataan akan membuat kesenjangan dan ketimpangan. Sebaliknya, pemerataan tanpa pertumbuhan akan membuat stagnasi ekonomi.
Untuk mencapai pemerataan inilah berbagai instrumen ekonomi diterapkan. Mulai dari pendirian bank sebagai mediator antara orang berlebih harta dengan yang membutuhkan pinjaman. Hingga pada upaya distribusi pendapatan dengan menaikan subsidi bagi yang miskin.
Hanya saja, banyak yang lupa, subsidi tidak akan mempan bila cuma dilakukan di hilir. Misalnya, hanya memberikan bantuan pangan dan BLT. Sementara kebijakan di hulu seperti penguasaan dan kepemilikan atas sumber daya ekonomi, yakni modal, tanah, dan keterampilan/pengetahuan masih terjadi ketimpangan. Jika kondisi ini terus terjadi, pemerataan tak akan terwujud. Inilah yang kerap dialpakan sehingga disparitas menjadi wajah ekonomi global.
Wajar saja, jika Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Artinya pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya dinikmati oleh sebagian orang-orang tajir di negeri ini. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia masih cukup tinggi sehingga bisa menjadi masalah yang serius di kemudian hari.
Puasa (ramadan) mengajak umat hidup patut dengan jalan mengendalikan keserakahan (keinginan). Menahan diri untuk tidak menumpukkan harta dan kekuasaan. Lalu memberikan kesempatan penguasaan sumber daya ekonomi kepada mereka yang kekurangan.
Di sini kita akan sampai kepada fatwa Gandhi yang masyhur: “There is a sufficiency in the world for man’s need but not for man’s greed.” (Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak untuk keserakahan manusia).
Penulis adalah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Batanghari yang juga Ketua Bidang Pengkaderan Pengurus Wilayah IKA PMII Provinsi Jambi