Oleh : Mohd Haramen, SE, ME.Sy
SUATU ketika Sekretaris Kabinet Maria Ulfah menyodorkan uang Rp 6 juta yang merupakan sisa dana nonbujeter untuk keperluan operasional Bung Hatta selama menjabat wakil presiden. Namun dana itu ditolak Bung Hatta. Ia mengembalikan uang itu kepada negara. Mohammad Hatta melakukan itu karena ia tak ingin meracuni diri dan mengotori jiwanya dari rezeki yang bukan haknya. Karena dia selalu teringat pepatah Jerman, Der Mensch ist, war est izt yang berarti sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.
Lain lagi dengan Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso. Sebelum ia diangkat menjadi menjadi kepala Jawatan Imigrasi RI (1960– 1965), dirinya meminta istrinya agar menutup toko kembang miliknya. Lantas, istrinya berkata, :
“Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan kepala jawatan imigrasi?” Itulah protes yang dilontarkan Merry Roeslani, istri Jenderal Hoegeng.
Ibu Merry tak habis pikir dengan permintaan suaminya itu karena toko kembang tersebut salah satu sumber penghasilan tambahan mereka. Hoegeng menjawab tegas, “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”
Rupa-rupanya, Hoegeng takut toko bunga itu menjadi beban bagi dirinya dalam menjalankan tugasnya.
Ada lagi kisah menarik dari Menteri Keuangan era Orde Baru. Pada pertengahan 1990-an, Mar’ie Muhammad yang merupakan menteri keuangan melakukan kunjungan kerja ke sebuah BUMN kehutanan di Sumatera. Malam sebelum rapat, seorang staf perusahaan mengantarkan cek senilai Rp 400 juta ke kamar hotel tempat Mar’ie menginap.
“Itu uang apa?” tanya Mar’ie.
“Itu bonus untuk bapak (sebagai komisaris yang mewakili pemerintah). Sebab laba perusahaan tahun ini sangat baik,” jawab si staf.
“Oh, taruh di meja itu.”
Besok paginya, Komisaris Mar’ie hadir di rapat BUMN tersebut, mendengarkan paparan tentang kondisi keuangan perusahaan dengan terinci.
Sebagai akuntan tangguh, Mar’ie bertanya macam-macam detail kinerja finansial kepada direksi, yang melaporkan dengan gembira tentang bagusnya kinerja bisnis perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan akuntansi Mar’ie tajam dan gamblang, membuat direksi kewalahan, dan akhirnya sampai pada kesimpulan: perusahan tahun ini sebetulnya rugi, bukan untung.
“Kalau rugi seperti ini, kenapa perusahaan bisa kasih saya duit Rp 400 juta?”
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Mar’ie itu. Cek Rp 400 juta pun dikembalikannya.
Prilaku tiga pejabat negara tersebut menunjukkan integritas yang sesungguhnya. Uang dan kekayaan bagi mereka bukanlah tujuan. Integritas hidup mereka tinggikan, pekerjaan merupakan ladang pengabdian.
Hal ini sejalan juga dengan pesan nabi SAW :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”
Lain waktu Rasulullah SAW juga berwasiat (HR. Bukhari dan Muslim):
“Pemimpin yang tidak amanah dan menipu rakyat akan diharamkan surga baginya oleh Allah SWT.”
Puasa adalah kawah pendadaran integritas yang sesungguhnya. Ramadan menguji kita dengan dua ujian sekaligus. Yakni pertama ujian kejujuran. Dimana, disaat kita dengan gampang sekali menyeruput minuman di luar penglihatan khalayak, tapi kita dituntut tetap menahan dahaga. Integritas dinyatakan lulus bila kita tetap berlaku lurus.
Kedua, ramadan mengajak kita tetap produktif. Puasa tidak harus membuat kita menjadi lemah, meski berlapar dahaga. Iman dan raga kita diuji sedemikian rupa agar bisa menjadi hamba yang sempurna. Inilah kawah candradimuka menjadi manusia yang bertakwa.
(Penulis adalah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Batanghari yang juga pengurus ICMI Kota Jambi)