JAMBI, berjambi.com – Bank Indonesia secara periodik akan menyampaikan informasi tentang posisi Hutang Luar Negeri (ULN) Indonesia. Informasi ini bisa berisi posisi ULN yang naik ataupun turun.
Dalam siaran pers yang dirilis pada Maret 2024 lalu, posisi ULN Indonesia pada Januari 2024 disebut mengalami penurunan. ULN Indonesia pada Januari 2024 tercatat sebesar US$405,7 Miliar atau sekitar Rp6.312 Triliun.
Menurut BI, angka tersebut turun jika dibandingkan dengan posisi ULN pada Desember 2023 yang mencapai US$408,1 Miliar. Secara tahunan, posisi ULN Indonesia tumbuh sebesar 0,04% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 2,9% (yoy).
Penurunan posisi ULN pemerintah antara lain dipengaruhi oleh pelunasan seri Surat Berharga Negara (SBN) yang jatuh tempo. Pemerintah berkomitmen tetap menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati, efisien, dan akuntabel.
Pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk fokus mendukung upaya Pemerintah dalam pembiayaan belanja program prioritas dan perlindungan masyarakat di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dukungan pembiayaan tersebut mencakup antara lain pada sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (21,1% dari total ULN pemerintah), Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (18,0%), Jasa Pendidikan (16,9%), Konstruksi (13,7%), serta Jasa Keuangan dan Asuransi (9,7%).
“Posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah,” kata Bank Indonesia dalam siaran persnya itu.
Meski angkanya mencapai Rp6 Ribuan Triliun, Bank Indonesia menilai struktur ULN Indonesia masih tetap sehat, karena didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
Hal ini tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 29,4% dari 29,7% pada bulan sebelumnya, serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 86,9% dari total ULN.
Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian.
Baca juga: Kebijakan Fiskal: Tujuan, Jenis, Instrumen, & Contohnya
Dampak Peredaran Uang Terlalu Banyak
Mencetak uang sebanyak mungkin akan membuat peredaran uang terlalu tinggi. Hal ini bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru akan menimbulkan masalah baru atau memperparah masalah ekonomi yang sudah ada.
Berikut beberapa dampak peredaran uang terlalu banyak dalam sebuah negara.
- Inflasi Tinggi
Salah satu dampak negatif tingginya peredaran uang adalah terjadinya inflasi yang tinggi pada sebuah negara.
Seperti yang diketahui, inflasi adalah kondisi ketika kenaikan harga barang dan jasa di suatu negara dalam jangka waktu yang panjang. Penyebab inflasi umumnya karena ketersediaan barang dan uang yang beredar tidak seimbang.
Dengan banyaknya uang yang beredar, maka nilainya akan mengalami penurunan. Akibatnya, harga barang dan jasa di masyarakat akan mengalami kenaikan drastis.
- Depresiasi Mata Uang
Seperti yang disebutkan di atas, peredaran uang yang terlalu tinggi justru akan melemahkan nilai mata uang itu sendiri.
Ketika jumlah uang yang beredar melebihi nilai ekonomi sebenarnya, nilai mata uang justru menurun karena penawaran yang berlebihan namun permintaan tetap.
Depresiasi mata uang akan mempengaruhi banyak hal, seperti impor menjadi lebih mahal, biaya hidup meningkat, dan daya beli masyarakat menurun.
- Hutang Negara Membengkak
Ya, kamu tidak salah! Mencetak dan mengedarkan uang dalam jumlah besar bukannya melunasi hutang negara, melainkan akan membuat hutang negara kian membengkak.
Hal ini terjadi karena nilai mata uang yang anjlok di hadapan mata uang asing, utamanya dolar. Akibatnya, hutang negara kepada pihak asing yang menggunakan dolar akan membengkak secara nilai.
Itulah jawaban atas pertanyaan “kenapa pemerintah tidak cetak uang untuk bayar hutang?” Kebijakan tersebut sangat dihindari oleh banyak negara, karena justru akan berakibat fatal bagi perekonomian jangka panjang. (***)