Musuh Wartawan

publisher

Oleh Mohd Haramen

SAYA selama tiga belas tahun pernah berkecimpung di dalam dunia wartawan. Terakhir saya menjadi pemimpin redaksi di Harian Pagi Jambi Ekspres. Dan setelah itu juga sempat beberapa bulan menjadi General Manager Harian Metrojambi.  Profesi ini semua saya lepas sejak aktif di Pendamping Desa  mulai September 2016. Menjalani profesi tersebut saya sangat enjoy sekali. Selain berkenalan dengan banyak pejabat, juga dari sisi pendapatan lumayan besar. Selain gaji tetap yang diterima setiap bulan, juga ada tunjangan penulisan. Tak hanya itu, setiap dapat iklan, juga diberi komisi 20 persen dari omzet iklan. Omzet pencairan iklan tertinggi yang pernah saya peroleh selama jadi wartawan yakni saat pencairan iklan Pemprov Jambi era Idham Kholid menjadi Karo Humas dan Protokoler. Komisi saya waktu itu hampir Rp. 40 juta. Karena omzet iklan yang saya cairkan sebanyak Rp. 200 juta. Bukan main penghasilan segini diperoleh zaman itu.

Ya itulah sekelumit kisah indah yang saya alami saat menjadi wartawan dulu. Hari ini bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) saya ingin menulis sedikit tentang tantangan wartawan kedepan. Menurut saya, kedepan profesi wartawan ini menghadapi tantangan yang cukup besar. Di era digitalisasi seperti sekarang, arus informasi demikian berkembangan dengan cepat tanpa dibatasi ruang dan waktu. Peristiwa di antartika bisa dengan seketika diperoleh tanpa didapat dari sebuah berita yang disajikan media jurnalistik. Tapi, cukup dengan melihat status seseorang baik itu di whatshapp maupun media sosial lainnya. Dalam kondisi ini, wartawan tentu sangat sulit menyajikan berita yang update. Karena sudah tersaji di media sosial lebih cepat.  Dan tentunya yang menyampaikan berita lewat medsos tersebut tidak harus wartawan.

Selain itu, di era digital hari ini, terkadang pembaca tidak bisa membedakan berita di media jurnalistik dan medsos. Bagi sebagian pembaca, berita di medsos dianggap lebih benar dari media jurnalistik. Dan media jurnalistik dikesampingkan sebagai sumber informasi yang valid.  Belum lagi dari sisi kebijakan pemerintah terhadap dunia tulis menulis juga tidak memihak kepada media jurnalistik. Seorang dosen mendapat poin yang lebih besar ketika menulis di jurnal yang dikelola dosen,  ketimbang menulis di media jurnalistik yang dikelola wartawan. Sehingga dosen berlomba-lomba menerbitkan tulisannya di jurnal-jurnal. Ini membuat daya tarik membaca berita di media jurnalistik makin berkurang.

Dulu sempat saya berpikir, media ini akan bermetamorposis mengikuti perkembangan zaman. Tapi ternyata, perubahan zaman diikuti dengan perubahan prilaku dan selera masyarakat yang demikian cepat. Saat ini masyarakat lebih senang membaca status orang dibandingkan membaca berita.  Dalam hasil riset yang berjudul  “Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World”  disebutkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Dan sakitnya lagi, menurut survei UC Browser, dalam sehari, pengguna internet tersebut maksimal hanya membaca 4 berita.

Dengan berbagai kondisi itu semua, kita berharap kedepan pemerintah bisa mendorong gerakan literasi membaca.  Terutama membaca media jurnalistik. Karena kebiasaan membaca berita ini hampir punah ditelan waktu. Semoga dihari HPN ini, para pewarta lebih semangat lagi mewartakan berita. Sajian berita berkualitaslah yang mencerdaskan kehidupan berbangsa.  (Penulis adalah warga masyarakat biasa)