JAMBI, berjambi.com -DALAM Dunia sepak bola kita mengenal nama yang melegenda yakni Diego Maradona. Hidup Maradona sendiri diisi oleh empat sisi: prestasi, kontroversi, imajinasi, dan empati. Maradona adalah segelintir pemain yang bisa mengakumulasi diri sebagai pemain sempurna: membawa klub menjadi jawara dan mewujudkan negaranya menjunjung tinggi patung Piala Dunia. Ia simbol prestasi.
Perjalanan karir dan hidupnya tidak pernah sepi dari berita. Ia lahir dari negara bola dan tumbuh di klub-klub raksasa. Namun Dia tak ingin menjadi bagian dari kemapanan. Ia putuskan bergabung dan berjuang di klub yang tak ada dalam peta bola masa itu yakni Napoli. Klub Italia yang berasal dari selatan itu selalu terpuruk peringkatnya karena dilindas klub-klub kaya dari wilayah utara. Maradona mengubahnya, Napoli meraih mahkota: melumpuhkan kepongahan klub utara. Ia sumber imajinasi.
Ada beberapa pelajaran dari kisah bergabungnya Maradona ke grup Napoli ini. Pertama, saat ia hijrah dari Barcelona ke Napoli, rakyat Napoli rela iuran membayar biaya transfer paling mahal saat itu. Sampai sekarang belum pernah terulang pengalaman tersebut: rakyat suatu wilayah ikhlas melakukan segala hal untuk memilikinya. Ia adalah simbol gerakan atas nama kecintaan. Kedua, Maradona ringan saja melakukan pertandingan amal dengan klub amatir di lapangan becek demi biaya operasi 6 anak miskin di kampung kumuh Italia. Manajemen Napoli melarangnya bertanding (khawatir dirinya cedera), namun api kemanusiaan tetap menggerakkan Maradona bertanding. Keteguhan hati melampaui kecemasan luka kaki. Ia menerapkan sifat empati.
Sebagai pendamping desa, Maradona bisa menjadi inspirasi kita. Kita harus bisa membawa desa yang kita dampingi menjulang tinggi sebagai bagian dari prestasi. Selain itu, sebagai sosok pendamping, kita harus menjadi sumber insprasi dan imajinasi desa dampingan kita. Untuk itu perlu terus menerus meningkatkan kemampuan dengan belajar yang tiada henti.
Tak cukup hanya disitu, kita juga harus mampu membangun kecintaan masyarakat desa terhadap pendamping. Untuk itu, kita perlu melebur dengan masyarakat. Pendamping desa tidak boleh membuat skat dengan rakyat. Dan lakukanlah pendampingan dengan hati agar juga sampai ke hati. Tidak memposisikan pendamping bak menara gading yang sulit dijangkau oleh masyarakat desa. Baik itu gerakannya, maupun cara komunikasinya.
Terakhir, dalam melakukan pendampingan, kita harus mengutamakan sifat humanisme dan kemanusiaan. Datang ke desa bukan karena ada apa apanya. Tetapi ikhlas demi mengabdi untuk membangun desa. Dengan demikian terwujudlah slogan Desa Membangun Indonesia. Salam merdesa !
(Penulis adalah TAPM Kabupaten Batanghari)