SEXUAL harrasment atau pelecehan seksual kerap terjadi dimasyarakat, baik dalam ranah personal maupun ranah publik. Pelecehan seksual dapat terjadi dimanapun dan kapanpun ada kesempatan yang dipergunakan oleh oknum-oknum tertentu. Hal ini menjadi fenomena yang harus diwaspadai oleh masyarakat terutama perempuan. Pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2012 – 2021 terdapat 49.762 kasus pelecehan seksual di Indonesia yang dilaporkan. Dalam periode Januari – November 2022 terdapat 860 kasus pelecehan seksual dalam ranah publik dan 899 kasus dalam ranah personal (Komnas Perempuan, 2022).
Pelecehan seksual merupakan perilaku verbal dan nonverbal (fisik) yang berkaitan dengan perilaku seksual yang tidak diinginkan oleh individu dan dapat menempatkan korban dalam posisi rentan atau tidak nyaman. Pelecehan seksual tidak hanya dalam bentuk sentuhan fisik namun pelecehan verbal (cat calling dan menyampaikan ujaran rayuan), pelecehan isyarat (mengedipkan mata atau menatap dengan tatapan seksual) serta pelecehan melalui teknologi (ancaman penyebaran video seksual) termasuk kedalam bentuk pelecehan seksual (Picchetti et al., 2022).
Perilaku pelecehan seksual dalam teori Differential Association yang dikemukakan oleh Edwin H Suterland pada Tahun 1934 menyatakan bahwa perbuatan kriminal itu dipelajari dalam hubungannya dengan interaksi pada suatu proses komunikasi disuatu asosiasi. Dalam kaitannya dengan perilaku pelecehan seksual, individu melakukan tindakannya karena sering melihat hal-hal yang berbau seksual seperti ungkapan dan perbuatan yang berbau seksual di sekitarnya. Seiring dengan hal tersebut, pelaku pelecehan seksual dapat mempelajari perilaku sehingga munculnya dorongan untuk melakukan perilaku pelecehan seksual tersebut (Ikhwantoro & Sambas, 2018).
Kasus pelecehan seksual sering kali tidak dilaporkan, hal ini berkaitan dengan teori perilaku yang dikemukakan oleh Martin Fishbein Tahun 1967 dan dikembangkan oleh Icek Ajzen tahun 1980 yaitu Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior (TPB) yang menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh keinginan individu yang ditentukan oleh sikap dan norma subjektif serta presepsi terhadap pengendalian perilaku (Mahyarni, 2013). Hal ini berkaitan dengan rendahnya pelaporan kejadian pelecehan seksual karena ketidak yakinan korban dalam melaporkan kejadian karena malu, merasa kasus akan diremehkan oleh pihak yang berwenang dan belum terciptanya rasa aman dalam pelaporan kejadian pelecehan seksual. Selain itu norma subjektif juga mempengaruhi pelaporan kejadian karena korban pelecehan seksual sering mendapatkan perlakuan victim blaming dari orang sekitar, seperti menyalahkan korban atas kasus yang menimpanya, menganggap rendah, membenarkan rasisme dan ketidakadilan sosial dengan mencari celah kesalahan pada korban pelecehan seksual. Hal-hal negatif tersebut membentuk presepsi korban sehingga perilaku pelaporan kejadian pelecehan seksual tidak dilaksanakan (Shopiani, 2021).
Pelecehan seksual berdampak pada psikologis individu sebagai korban sehingga menyebabkan trauma, gangguan tidur, gangguan stres pasca trauma, insecure (merasa diri tidak berharga). Hal ini memiliki dampak yang serius dan perlu dilakukan pencegahan maupun pengendalian terhadap korban pelecehan seksual. Pengendalian pelecehan seksual dapat dilakukan pada ranah personal dan setiap ranah publik dengan melakukan edukasi kepada masyarakat, di perguruan tinggi, sekolah dan tempat kerja tentang bentuk pelecehan seksual, pelaporan kasus pelecehan seksual dan tindakan yang harus dilakukan oleh korban, orang terdekat korban, maupun saksi yang melihat kejadian (ditegur, dialihkan, ditenangkan, dilaporkan dan direkam). Selain itu membentuk pos pengaduan pelecehan seksual, menempelkan nomor aduan yang dapat dihubungi oleh korban, membentuk first aid responder yang telah mengikuti pelatihan untuk penanganan pelecehan seksual di perguruan tinggi maupun di tempat kerja serta memberikan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual yang telah melaporkan kejadian dan sanksi yang setimpal kepada pelaku pelecehan seksual sehingga menimbulkan efek jera. (***)