KEKUATAN media sosial di tangan anak muda Indonesia saat ini telah membuktikan dirinya sebagai alat yang efektif untuk mengkritik pemerintah. Dua kejadian baru-baru ini di Indonesia menggambarkan bagaimana penggunaan media sosial oleh generasi muda dapat memiliki daya dobrak yang luar biasa, mampu membuat pemerintah terpaksa merespons tuntutan mereka.
Kasus pertama melibatkan seorang mahasiswa Australia bernama Bima, yang melalui media sosial mengkritik buruknya infrastruktur jalan di Provinsi Lampung. Dalam berbagai postingannya yang viral, Bima menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi jalan yang rusak parah di wilayah tersebut.
Dampak dari postingan tersebut tak terelakkan, video-video tersebut menyebar dengan cepat dan mendapat perhatian luas dari masyarakat, termasuk Presiden RI sendiri. Akibatnya, pemerintah terpaksa merespons dengan mengirimkan tim untuk memperbaiki kondisi jalan tersebut, sebagai respons terhadap tekanan publik yang semakin besar.
Kejadian kedua baru-baru ini melibatkan seorang anak SMP yang tinggal di Kota Jambi, SFA. Ia menggunakan media sosial untuk mengkritik pemerintah Kota Jambi untuk memperjuangkan hak neneknya yang dikibiri selama puluhan tahun. Melalui video yang diunggahnya, SFA menyampaikan keluhan dan keprihatinannya terhadap situasi yang dihadapi oleh neneknya dan warga setempat. Video tersebut pun menjadi viral, menarik perhatian banyak orang.
Pemerintah Kota Jambi pun tidak bisa mengabaikan tekanan publik yang semakin meningkat dan harus memberikan tanggapan serta mengambil tindakan. Sampai-sampai SFA harus dilaporkan ke Polda Jambi yang kemudian mendapat perhatian Mahfud MD sebagai Menko Polhukam dan banyak pihak. Viral!
Dalam kedua kasus tersebut, kekuatan media sosial terlihat jelas. Generasi muda saat ini memiliki akses yang luas ke platform media sosial seperti Tiktok, Youtube, Twitter, Facebook, dan Instagram. Mereka menggunakan media sosial ini sebagai alat untuk menyuarakan aspirasi dan mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memadai. Melalui konten yang menarik dan berpotensi viral, mereka mampu mencapai audiens yang luas dan memobilisasi dukungan. Saatnya berani untuk _Speak up..!_
Salah satu faktor penting dalam kesuksesan kritik melalui media sosial adalah kemampuan anak muda dalam memanfaatkan fitur-fitur yang ada. Misalnya, penggunaan tagar (hashtag) yang tepat dapat membuat sebuah kampanye lebih mudah ditemukan dan menjadi trending topic.
Selain itu, kekuatan gambar dan video juga tidak bisa diabaikan. Konten yang menarik secara visual memiliki potensi lebih besar untuk menarik perhatian dan menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Agaknya itulah yang dilakukan oleh SFA yang dengan apik mempresentasikan kritiknya di akusn social yang dimilikinya. Data dan foto-foto yang ‘menohok’ ditampilkan. Keatif!
Namun, kekuatan media sosial juga memiliki risiko, lebih-lebih menghadapi ‘petugas’ pemerintah yang anti kritik. Terkadang, dalam keadaan emosi yang tinggi, pesan kritik dapat disampaikan dengan cara yang tidak baik dan berpotensi menciptakan konflik. Oleh karena itu, penting juga untuk diingatkan bagi anak muda pengguna media sosial untuk menggunakan platform tersebut dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Kritik yang membangun dan disampaikan secara konstruktif lebih mungkin diterima dan direspon oleh pemerintah. Walau, memang tidak ada perjuangan tanpa resiko.
Akhirnya, kekuatan media sosial di tangan anak muda Indonesia saat ini sangatlah besar. Dua kasus yang baru-baru ini terjadi di Indonesia, melibatkan Bima dan SFA, adalah bukti nyata bahwa media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk mengkritik pemerintah dan mempengaruhi perubahan. Saatnya anak muda berbuat untuk negeri ini.
Namun, penting untuk diingat bahwa kekuatan ini juga harus digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab. Hanya dengan cara tersebut, anak muda kita dapat menjadikan media sosial sebagai alat untuk mencapai perubahan yang positif dalam masyarakat. Terima kasih anak-anak muda hebat!
_(Pengamat sosial, tinggal di Sydney, Australia)_