Oleh Mohd Haramen
AKHIR Tahun 2019 lalu, saya berkesempatan bersilaturrahmi dengan Kepala Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Jogjakarta. Namanya, Wahyudi Anggoro yang biasa dipanggil pak Lurah. Karena memang di Jogjakarta, sebutan kepala desa adalah lurah. Perawakannya tinggi, berpeci dan berpenampilan sangat sederhana. Dari penampilannya tak menyangka dirinya merupakan lulusan Sarjana Farmasi Universitas Gajah Mada. Dan saat ini sedang menyelesaikan Magister Ilmu Pemerintahan Desa di STPMD Jogjakarta.
Lewat tangan dinginnya, kini desa Panggungharjo memiliki Pendapatan Asli Desa (PADes) lebih dari Rp. 5 Miliar. PADes ini diperolehnya lewat pengelolaan potensi ekonomi desa oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes nya bergerak dalam bidang pengelolaan sampah, produksi minyak jelanta menjadi solar, wisata kuliner kampung Matraman, BUMDes Mart, dan lain-lain.
Dengan PADes yang besar tersebut, kini desa Panggungharjo bisa membiayai program desanya. Seperti pemberian beasiswa dengan target satu rumah satu sarjana, pelayanan kesehatan warga secara gratis, tambahan makanan ibu hamil hingga biaya persalinan. Termasuk juga makanan tambahan buat para lansia. ‘’Lansia ditempat kami hanya 2 hari dalam setahun yang tidak mendapat kiriman makanan, selain itu setiap siang dan sore mendapatkan kiriman makanan,’’ tukas Wahyudi saat itu.
Pada tahun 2024, Wahyudi memiliki target dimana seluruh warga desanya memiliki tabungan dan jaminan hari tua. Dan itu diambilnya dengan cara menyisihkan sebagian dari keuntungan BUMDes. ‘’Orang bahagia itu, kalau punya jaminan kesehatan, kehidupan yang layak cukup papan sandang pangan, punya jaminan hari tua dan punya tabungan,’’ katanya.
Berkat berbagai kemajuan yang dicapai, kini desa Panggungharjo mendapat penghargaan tingkat Asean. Bahkan pengurus BUMDes Panggungharjo ada yang diundang untuk belajar ke Inggris. Harus diakui, fenomena BUMDes seperti Panggungharjo ini lumayan banyak. Seperti BUMDes Ponggok, BUMDes di desa Pujon, Malang, dan banyak lagi desa lainnya. Untuk di Jambi, kini ada Desa Delima yang sudah mulai menghasilkan PADes hingga ratusan juta.
Saya melihat, kesuksesan desa ini mengelola BUMDesnya karena didorong oleh beberapa faktor. Diantaranya, Pertama, komitmen kepala desa, Kedua, Manajemen Pengelolaan Usaha yang Akuntabel dan Transparan, Ketiga, dukungan segenap warga desa, Keempat, usaha BUMDes yang berbasis potensi desa, Kelima, dukungan SDM yang mumpuni. Kelima faktor ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, komitmen kepala desa dalam membangun BUMDes. Itu adalah nyawa dari gerak langkah BUMDes. Karena kepala desa adalah ex officio komisaris BUMDes. Tanpa dukungan penuh dari Kepala desa, BUMDes sulit berkembang.
Kemudian, manajemen usaha yang akuntabel dan transparan. Ini juga penting diterapkan dalam pengelolaan BUMDes. Karena awal dari kehancuran sebuah BUMDes adalah kecurigaan pengurus terhadap pengurus lainnya. Atau juga kecurigaan aparatur desa dan warga desa terhadap pengurus BUMDes. Dan sangat tidak rasional, ketika sebuah badan usaha tanpa didukung pelaporan keuangan yang baik. Dari mana bisa mengetahui untung atau ruginya, jika tidak dari laporan keuangan. Sekecil apapun pengeluaran dan pendapatan BUMDes harus dicatat dan dilaporkan ke komisaris. Karena disitulah inti dari pengelolaan keuangan yang akuntabel dan transparan.
Selanjutnya, dukungan dari warga desa juga sangat penting. Karena kalau bukan warga desa, siapa lagi yang akan memajukan BUMDes. Banyak saya dengar curhatan pengurus BUMDes di Jambi, seringkali warga desa beranggapan usaha BUMDes itu untuk dibagi bagi ke rakyat karena modalnya dari uang rakyat. Akibatnya, kalau berhutang ke BUMDes, masyarakat enggan membayar. Ini kalau dibiarkan, tentu menyebabkan BUMDes akan bangkrut dan sulit berkembang.
Lalu, usaha BUMDes harus berbasis potensi desa. Ini juga sangat penting diterapkan. Bagaimana mungkin, usaha yang dijalankan BUMDes jauh dari potensi desa. Karena BUMDes itu bukan semata-mata mengejar keuntungan. Tapi juga diharapkan bisa memberikan benefit untuk masyarakat setempat. Selain itu, usaha BUMDes yang berbasis potensi desa diharapkan bisa menggerakkan perekonomian warga setempat. Dan bisa menjamin ketersediaan bahan baku. Bayangkan jika BUMDes usahanya membatik, beli bahan baku hingga alat dari pulau Jawa. Artinya perputaran modal BUMDes ke pulau Jawa dan tentunya BUMDes hanya memperoleh keuntungan dari penjualan saja. Berbeda jika usaha BUMDes kripik pisang, dimana pisangnya dibeli dari warga desa, artinya perputaran uang didalam desa.
Terakhir adalah SDM yang mumpuni. Mumpuni disini bukan berarti berpendidikan tinggi, tapi yang penting punya loyalitas terhadap BUMDes. Mereka berkomitmen dan ikhlas bekerja untuk BUMDes. Karena SDM yang ikhlas bekerja inilah yang melahirkan inovasi dan produktivitas yang tinggi. Kalau SDM yang tidak ikhlas, produktivitasnya tergantung sejumlah rupiah yang dia peroleh. Ini akan menghambat kemajuan BUMDes. BUMDes butuh SDM yang ikhlas, tidak mengharapkan digaji tapi menciptakan gaji.
Berbagai faktor ini ideal untuk diterapkan demi kemajuan BUMDes kedepan. Karena kalaulah BUMDes di Pulau Jawa bisa menghasilkan PADes miliaran, di Jambi juga bisa demikian. Tapi sekali lagi, itu tergantung kebersamaan, keikhlasan dan komitmen membangun BUMDes.
(Penulis adalah Tenaga Ahli Madya Pengelolaan Keuangan Desa dan Pengembangan Ekonomi Lokal Kemendes PDT RI untuk wilayah Provinsi Jambi)