Pemindahan Ibukota Dalam Lintasan Sejarah Islam

publisher

RENCANA pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke pulau Kalimantan yang bernama Nusantara itu menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi masyarakat yang pro, pemindahan ibukota ini merupakan kebijakan yang positif. Dan diharapkan berdampak kepada ekonomi Indonesia yang cukup baik di masa depan. Selain itu juga mengurangi ketergantungan Indonesia dengan kepulauan jawa. Mengingat hampir 60 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia disumbangkan oleh pulau jawa.

Sedangkan bagi mereka yang kontra, pemindahan ibukota dianggap tidak tepat dilakukan. Karena dianggap sebagai bagian dari upaya menghambur-hamburkan uang negara di tengah pandemi Covid 19 yang berlangsung saat ini. Tapi sebenarnya jika dibaca sejarah Indonesia, pemindahan ibukota negara ini merupakan wacana yang sudah berulangkali dilakukan. Bahkan sejak pemerintah kolonial sudah ada wacana memindahkan ibukota negara dari batavia saat itu. Bahkan di era Soekarna juga ada wacana pemindahan ibukota ke Palangkara, hanya saja tak terlaksana, hingga presiden Soekarno melalui UU No 10 tahun 1964 menetapkan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia.

Meski sudah lahir UU, namun wacana pemindahan ibukota ini terus bergulir. Presiden Soeharto pernah mewacanakan pemindahan ibukota ke kawasan Jonggol. Di era presiden SBY bahkan sudah dibentuk tim yang mengkaji pemindahan ibukota, sayangnya juga tidak terlaksana. Baru di era Presiden Jokowi inilah, rencana pemindahan ibukota tersebut direalisasikan. Meski dengan berbagai pro kontra, sepertinya pemindahan ibukota ini bisa dilaksanakan. Karena sudah disetujui DPR RI melalui UU IKN.

Adanya pemindahan ibukota negara ini bukan hanya terjadi di era kini saja. Dalam sejarah peradaban Islam, pemindahan ibukota negara ini juga sering terjadi. Misalnya, pada masa khulafaurrasyidin. Dimana khalifah Ali bin Abi Thalib RA memindahkan ibukota negara dari Madinah ke Kufah (Iraq).  Menurut tulisan Gus Nadirsyah Hosein di laman NU online, pemindahan ibukota di zaman Ali bin Abi Thalib ini dimaksudkan untuk memisahkan antara kekuasaan politik dan agama. Selain itu juga, untuk menjaga kesucian kota Madinah dan Mekkah dari peperangan yang akan terjadi dimasa mendatang.

Tak hanya itu, pasca berkuasanya Bani Umayah setelah penyerahan kekuasaan dari Hasan anak Ali bin Abi Thalib, pemindahan ibukota juga terjadi.  Pendiri dan khalifah pertama Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan atau Muawiyah I yang menjadi Gubernur Syam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan yang memindahkan ibukota negara  dari Kufah (Iraq) ke Damaskus. Pemerintahan Bani Umayyah ini berlangsung lebih dari tiga abad, yang dibagi ke dalam dua periode. Yakni periode pertama antara 661-750 dengan pusat pemerintahan di Damaskus, kemudian periode kedua antara 756-1031 di Cordoba, Spanyol.
Setelah tergulingnya  kekhalifaan Umayah, kekhalifahan Abbasiyah atau Bani Abbasiyah sebagai penerusnya juga memindahkan ibukota beberapa kali. Kekhalifahan yang didirikan oleh dinasti keturunan dari paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652) ini pertama memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Baghdad, Irak. Selama lima abad pemerintahannya, kekhalifahan ini berhasil menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia. (Penulis adalah warga Muarojambi)