Oleh : Tito Kharfia Valent
BANYAKNYA peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum yang ada. Namun di sisi lain hal ini dapat menimbulkan persoalan baru karena peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk berdasarkan politik hukum yang berbeda-beda.
Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan disharmonisasi melalui evaluasi dan perubahan. Hal ini bertujuan sebagai upaya peraturan perundang-undangan yang ada menjadi harmonis dan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.
Sehingga pada akhirnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat mewujudkan ketertiban, kepastian, dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah dengan menggunakan metode Omnibus Law.
Omnibus Law sendiri berasal dari kata “Omnibus” dan kata “Law” yang berasal dari bahasa latin yang berarti semua hukum (gabungan hukum). Akan tetapi, masyarakat lebih mengenal dengan istilah Undang-Undang sapu jagat.
Omnibus Law sendiri merupakan salah satu metode penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang mulai digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan tujuan untuk menyederhanakan regulasi dan mencegah tumpang tindih peraturan dalam rangka mencapai harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks hukum sendiri, Omnibus Law adalah aturan hukum atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan dari substansi pengaturan yang berbeda.
Apabila tanpa menggunakan metode omnibus law, sebuah undang-undang hanya dapat diubah dengan sebuah undang-undang saja maka dengan menggunakan metode omnibus law, beberapa undang-undang dapat diubah atau diganti sekaligus dengan sebuah undang-undang.
Demikian juga pada jenis peraturan perundang-undangan lainnya.
Dengan menggunakan metode penggabungan ini, diharapkan dapat memperbaiki dan menyelaraskan ketidaksesuaian yang mungkin terjadi di antara berbagai peraturan yang berlaku.
Dengan kata lain, omnibus law dapat menjadi upaya mengatasi masalah yang timbul karena adanya inkonsistensi atau ketidakselearasan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya yang dapat membuat tumpang tindih dalam suatu peraturan perundang-undangan. Penggunaan metode Omnibus Law sendiri juga merupakan suatu upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan guna mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain.
Dengan menggunakan cara modifikasi menjadikan peraturan perundang-undangan bisa beradaptas dengan kondisi terkini dalam masyarakat.
Penggunaan metode Omnibus Law sendiri yang di mana digunakan untuk mengubah atau mencabut ketentuan undang-undang yang telah ada, dapat memperluas cakupan sektor yang diatur.
Hal ini tentunya berdampak kepada seluruh masyarakat yang terdampak dari pembentukan undang-undang pada umumnya. Penulis menilai, satu undang-undang yang mengubah atau mencabut berbagai ketentuan undang-undang lainnya untuk kemudian diatur di dalam undang-undang tersebut, bisa memberikan dampak positif maupun dampak negative terhadap sektor yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Di Indonesia, salah satu contoh peraturan yang dibuat dengan menggunakan metode pendekatan Omnibus Law ini adalah pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam undang-undang ini, terdapat dampak positif dari pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja menggunakan metode Omnibus Law.
Dampak positif nya seperti menyederhanakan beberapa undang-undang yang timpang tindih selama ini yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum kepada masyarakat, sehingga terjadi penataan kembali regulasi serta procedural dari undang-undang yang disatukan tersebut, dalam undang-undang ini seperti mengubah atau mencabut beberapa undang-undang seperti dalam sektor ketenagakerjaan, agrarian, kehutanan, keuangan, perizinan berusaha, perdagangan dan lain-lain. Dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja, kalangan masyarakat merasakan kemudahan berusaha, sehingga dapat membuat investor masuk. Sebelum adanya undang-undang ini, pembentukan suatu badan usaha, terutama dalam sektor perseroan oleh UMKM, terhalang oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Maka dengan adanya undang-undang ini, perseroan terbatas dapat menghasilkan suatu badan usaha baru, yaitu perseroan perseorangan, yang memungkinkan bisa di dirikan oleh 1 (satu) orang saja, sehingga membuat semua orang dapat membuat usaha sendiri. Selain itu juga mencakup pada Omnibus Law Cipta Kerja memberi dampak manfaat untuk penyederhanaan perizinan dalam berusaha, yakni dengan menyederhanakan dan mengintegrasikan perizinan dasar dari sejumlah undang-undang yang terkait dengan izin lokasi, lingkungan dan bangunan gedung.
Akan tetapi, terdapat kekuarang dalam penggunaan metode Omnibus Law ini, salah satu asas yang tidak terpenuhi adalah asas keterbukaan. Asas keterbukaan pada pembentukan UU Cipta Kerja tidak terpenuhi karena tidak setiap golongan masyarakat yang terdampak dalam UU tersebut ikut berpartisipasi dan dapat menyuarakan pendapatnya mengenai UU tersebut. Hal ini tentu merupakan hal yang fatal mengingat setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus melibatkan setiap golongan masyarakat yang terdampak demi kepentingan masyarakat itu sendiri.
Mengacu pada kondisi ini, menjadi logis jika dikatakan bahwa salah satu kelemahan dari penggunaan metode omnibus law adalah kesulitan untuk memenuhi semua prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama dalam hal melibatkan semua golongan masyarakat.
Karena hal ini, Pertimbangan dari Hakim Mahkamah Konstitusi pada Putusannya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat adalah mengenai penggunaan metode omnibus law yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hakim berpendapat bahwa penggunaan metode omnibus law tidak dapat digunakan selama peraturan mengenai prosedur serta tata cara menggunakan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan belum diadopsi di dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hakim MK juga menghendaki adanya revisi terhadap Undang-undang Cipta Kerja selama 2 tahun. Apabila tidak terdapat revisi selama masa 2 tahun tersebut, maka UU Cipta Kerja menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara permanen.
Meskipun penggunaan metode omnibus law merupakan suatu keniscayaan, penggunaan metode omnibus law tidak boleh dilakukan secara gegabah. Sebab, hal ini dapat merusak tatanan sistem peraturan perundangundangan yang ada. Diperlukan sikap kehati-hatian bagi para pembentuk peraturan perundang-undangan dalam menggunakan metode omnibus law.
Metode ini semestinya sangat bagus digunakan dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan terutama saat suatu perundang-undangan yang ada dirasa kurang sesuai dan harmonis baik secara vertikal maupun horizontal.
Perubahan peraturan perundang-undangan dengan cara mengubah satu persatu peraturan perundang-undangan yang ada, tentu memerlukan waktu, biaya, dan energi politik yang besar. Dengan demikian, penggunaan metode omnibus law merupakan solusinya.
Meskipun demikian, Penggunaan metode omnibus law haruslah dilakukan secara hati-hati dengan dasar dalam pembentukan tersebut sebaiknya mengikutsertakan partisipasi atau keterbukaan kepada masyarakat, sehingga asas di dalam undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terpenuhi.
Omnibus law juga sangat bermanfaat dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan. Tujuan dari penggunaan metode omnibus law sendiri untuk menyederhanakan regulasi dan mencegah adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, seluruh golongan masyarakat terdampak harus dilibatkan dalam proses pembuatannya sehingga peraturan perundang-undangan yang tercipta dapat mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat terdampak.
(Penulis adalah mahasiswa Universitas Jambi)
