Oleh : Putri Safira Febiyan, S.Tr.IP
OMNIBUS LAW pertama kali digaungkan dalam pidato Presiden Joko Widodo setelah ia dilantik untuk kedua kalinya pada Oktober 2019. Ia menyebutkan omnibus law akan menyederhanakan regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Makanya pemerintah meyakini omnibus law bisa memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia. Ini dalam rangka memperkuat ekonomi nasional.
Keberadaan Omnibus Law ini menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ada yang setuju, dilain pihak ada juga yang menolak. Meski pada akhirnya Omnibus Law ini juga tetap disahkan oleh DPR RI. Hal ini sebenarnya harus dilihat sebagai dinamika dalam pembangunan hukum.
Omnibus law ini sendiri adalah undang-undang baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Bryan A. Garner menyebutkan dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan : “Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purpose” Artinya omnibus law berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau hal sekaligus, dan memiliki berbagai tujuan. Jadi skema regulasi yag sudah dikenal sejak tahun 1840 ini, merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja.
Lebih jauh dapat disimpulkan, bahwa Omnibus Law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai semacam—sebutlah itu—”undang-undang payung hukum” (umbrella act). Dan ketika peraturan semacam payung hukum itu diundangkan maka konsekuensinya bakalan mencabut beberapa aturan tertentu di mana norma atau substansinya juga bukan tidak mungkin bakalan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun secara keseluruhan.
Banyak ulasan mengatakan, UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sejauh ini belum disusun dengan tujuan mengakomodasi keberadaan Omnibus Law. Namun mengingat penyusunan undang-undang merupakan produk kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR, jelas bukan mustahil skema Omnibus Law bakal diimplementasikan dalam proses legislasi ke depan.
Terlebih jika mengingat aspek urgensi dan signifikansi dari skema Omnibus Law. Bukan saja bertujuan mengharmonisasi dan mengakhiri tumpang tindih regulasi yang terjadi selama ini, skema Omnibus Law juga bakal sanggup mengdongkrak perbaikan kualitas regulasi di Indonesia sehingga diharapkan tercipta iklim pro investasi dan kemudahan izin berusaha. Berikut alasan, manfaat serta tantangan dalam pembentukan Undang-Undang dengan metode omnibus law :
Terlalu Banyak Regulasi
Kualitas dan jumlah regulasi di Indonesia memang telah menjadi persoalan tersendiri. Merujuk data yang dirilis oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 16 Juli 2019, tercatat sepanjang rentang 2014 hingga Oktober 2018 saja, telah terbit 8.945 regulasi. Dari jumlah itu rinciannya terdiri dari 107 Undang-Undang, 452 Peraturan Pemerintah, 765 Peraturan Presiden, dan 7.621 Peraturan Menteri.
Problemnya, masih merujuk PSHK, persoalan utama yang menghambat keberhasilan program-program pemerintah selama ini, salah satunya adalah justru regulasi yang semrawut dan tumpang tindih. Dampaknya yaitu, pelbagai akses terhadap pelayanan publik, termasuk fasilitas terkait kemudahan berusaha, malah semakin menjadi terhambat.
Lebih lanjut, menurut PSHK, pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang semakin bertumpuk untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi atas produk regulasi yang ada.
Kritik bukan hanya dari PSHK. Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) Ke-4 juga mencatat, pembentukan regulasi yang tidak terkendali selama ini bukan saja telah menyebabkan ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antar regulasi, melainkan juga berdampak pada terjadinya tumpang tindih antar regulasi. Lebih jauh, fakta perihal kondisi regulasi ini juga berimplikasi pada terhambatnya upaya pencanangan program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sementara, jika merujuk Regulatory Quality Index yang dikeluarkan Bank Dunia, posisi skor Indonesia di sepanjang 1996 – 2017 selalu tercatat berada di bawah nol atau minus. Seperti diketahui, skala indeks kualitas regulasi yang dirumuskan Bank Dunia menempatkan skor 2,5 poin sebagai indeks tertinggi dan menunjukkan kualitas regulasi yang baik. Sementara skor paling rendah yaitu -2,5 poin. Indeks ini menunjukkan kualitas regulasi yang buruk. Pada 2017 skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada di peringkat ke-92 dari 193 negara. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Bersamaan dengan itu, tantangan era ekosistem masyarakat digital sudah menghadang di depan mata. Indonesia tidak boleh berlama-lama terbelit oleh prosedur formal. Sebuah terobosan kebijakan dalam proses penyusunan undang-undang haruslah segera dilahirkan. Berpijak dari urgensi inilah, maka jalan satu-satunya untuk menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui skema Omnibus Law.
Bermaksud menjawab persoalan di atas, pada 20 Oktober 2019 usai dilantik Presiden Jokowi menyampaikan gagasannya untuk mengeluarkan Omnibus Law. Menurut Presiden Jokowi, melalui skema Omnibus Law, akan dilakukan penyederhanaan kendala regulasi yang saat ini berbelit dan panjang. Sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi akan dipangkas.
Manfaat Omnibus LAW
Pemilihan penggunaan teknik legislasi dengan model omnibus law oleh para pembentuk UU di berbagai negara memiliki sejumlah alasan. Salah satu alasannya adalah dengan teknik ini maka pembentuk UU akan mudah mencapai kesepakatan atau persetujuan rancangan legislasi baru dan menghindarkan dari kebuntuan politik karena isi dari UU omnibus sangat kompleks dan banyak substansi sehingga perbedaan kepentingan bisa diakomodir dengan masing-masing anggota parlemen dapat memasukkan substansi yang diinginkannya.
Terdapat 2 keuntungan atau manfaat yang didapatkan dari diadopsinya teknis omnibus law dalam pembentukan UU yaitu : Pertama, teknik omnibus law menghemat waktu dan mempersingkat proses legislasi karena tidak perlu melakukan perubahan terhadap banyak UU yang akan diubah melainkan cukup melalui satu rancangan UU yang berisikan banyak materi perubahan dari berbagai UU maka dapat dihindarkan lamanya perdebatan anggota legislative terhadap masing-masing UU jika perubahan dilakukan dengan cara biasa.
Kedua, membuat hubungan partai oposisi (minoritas) dan mayoritas di parlemen yang kebiasaannya adalah prinsip menang dan kalah dalam pembahasan rancangan UU, maka dengan omnibus law sama-sama memiliki kesempatan. Mengingat materi atau substansi omnibus law sangat banyak maka membuat penolakan terhadap keseluruhan isi suatu UU oleh partai oposisi menjadi terhindarkan karena partai oposisi menjadi memiliki opsi menolak suatu substansi namun di sisi lain menyetujui substansi lainnya.
Ketiga, manfaat dari omnibus law juga terkait dengan implementasinya yang membuat banyak lembaga akan bertanggungjawab untuk melaksanakannya. Implementasi bersama ini bisa berupa penerbitan peraturan bersama ini bisa merupakan penerbitan peraturan berssma untuk melaksanakan omnibus law.
Tantangan Adopsi Omnibus
Adanya manfaat untuk melakukan adopsi omnibus law dalam sistem perundang-undangan Indonesia, namun demikian manfaat itu tentu dibarengi dengan kemampuan untuk menjawab tantangan yang muncul. Setidaknya ada 6 tantangan besar bagi adopsi omnibus law di Indonesia, yakni : Pertama, permasalahan regulasi Indonesia kompleks bukan hanya soal teknik atau cara penyusunan UU; Kedua, tiap-tiap UU yang ketentuannya diubah oleh omnibus law masing-masing telah memiliki landasan filosofis; Ketiga, prinsip supremasi konstitusi telah meletakkan batas-batas kewenangan mengatur untuk tiap jenis peraturan perundang-undangan; Keempat, ketidakpastian hukum akibat dominasi ego sectoral antar penyelenggara negara; Kelima, parameter menentukan kapan suatu materi harus dengan omnibus law dan kapan dengan UU biasa; dan Keenam, pasrtisipasi public dalam pembentukan UU di Indonesia dijamin di semua tahapan pembentukan.
Omnibus law lebih condong dianggap sebagai solusi jangka pendek atas permasalahan ini oleh karena itu pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang memastikan proses perbaikan sistem peraturan perundang-undangan berjalan secara sistematis dan berkelanjutan dimana omnibus law tidak memenuhi syarat karena tidak disebutkan dalam UUD 1945 maupun UU 12/2011 sehingga keberadaannya hanya melekat pada kebijakan pemerintahan yang bisa tidak dilanjutkan jika terjadi pergantian pemerintahan.
Adopsi omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki tantangan bagaimana tetap mengakomodir landasan filosofis yang melatarbelakangi lahirnya suatu UU yang hanya mengatur satu subyek tertentu yang kemudian diubah dengan omnibus law yang memuat banyak subyek. Omnibus law dapat diadopsi di Indonesia sepanjang memperhatikan asas keterbukaan dan kewajiban penyebarluasan naskah dalam rangka menjamin partisipasi public. Kaitannya dengan UU Cipta Kerja sejak awal banyak pihak menginginkan dibahas secara transparan dnegan memperhatikan masukan dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan UU tersebut.
Jaminan partisipasi public dalam pembentukan omnibus law merupakan salah satu syarat yang tidak bisa ditawar bagi diadopsinya omnibus law di Indonesia. Beberapa syarat yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut: Pertama, adanya pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian dan partisipasi masyarakat; Kedua, diperlukan sosialisasi yang luas, terutama bagi pejabat dan pihak yang terkait dalam substansi RUU nya, kalangan profesi hukum, dan akademisi; Ketiga, pembahasan di DPR yang transparan dengan memperhatikan masukan dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan RUU dan tidak tergesa-gesa pembahasannya; Keempat, mmempertimbangkan jangka waktu yang efektif berlakunya UU tersebut; dan Kelima mempertimbangkan keberlakuan UU yang terdampak.
Omnibus law memiliki berbagai tantangan sebelum dapat diadopsi secara utuh di Indonesia, namun hal ini dirasa sepadan dengan manfaat yang didapatkan. Hyperregulasi dapat dipangkas dan dapat mengakomodir berbagai kepentingan dari seluruh pihak yang berkaitan dengan Undang-Undang tersebut. Pro dan kontra dari masyarakat akan selalu ada namun tantangan di era digital dan urgensi untuk memperbaiki ekosistem regulasi kita dapat menjadi alasan yang cukup kuat untuk mengadopsi sistem omnibus law.
(Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Jambi dengan NIM P2B123024. Tulisan ini merupakan tugas dalam rangka ujian tengah semester)