TANGGAL 28 Februari 2022 yang bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1443 Hijriyah diperingati oleh umat Islam seluruh dunia sebagai hari Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini sungguh merupakan mukjizat yang luar biasa yang dialami oleh Rasulullah. Peristiwa itu terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke II Hijriyah sesudah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Di saat yang sama, Rasul juga menghadapi ujian yang dahsyat yakni wafatnya istri tercintanya Siti Khadijah dan paman yang merawat beliau Abu Thalib.
Perjalanan jauh Rasulullah tersebut ditempuh dalam sepertiga malam. Sementara, jika dengan kendaraan unta, perjalanan dari Masjidil Haram di Mekah, ke Masjidil Aqsa di Palestina saja bisa memakan waktu satu bulan. Sedangkan Rasul tak hanya sampai ke Palestina tapi naik ke langit hingga ke Sidratul Muntaha menghadap Allah SWT menjemput sholat lima waktu. Sesuatu yang memang tidak bisa dinalarkan, tapi jika Allah SWT berkehendak apapun pasti akan terjadi.
Banyak peristiwa yang dialami Rasullullah SAW dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj tersebut. Peristiwa ini merupakan pelajaran bagi ummatnya dari dulu hingga akhir zaman nanti. Diantara peristiwa yang dialami Rasulullah SAW dalam perjalanan Isra’ Mikraj ini yakni bahaya memakan riba. Hal ini tergambar dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah :
“Pada malam di-isra-kan, ketika sampai di langit ke tujuh, aku melihat ke atasku. Ternyata aku melihat halilintar, kilat, dan petir. Kemudian, aku diperlihatkan pada suatu kaum yang perutnya (besar) seperti rumah yang penuh dengan ular dan ular-ular itu terlihat dari luar. Aku bertanya (pada Jibril), ‘Siapakah mereka, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Mereka ini adalah orang-orang yang suka makan hasil riba.”
Secara etimologi (bahasa), dalam bahasa Arab riba adalah kelebihan atau tambahan (az-ziyadah). Adapun kelebihan tersebut, secara umum mencakup semua tambahan terhadap nilai pokok utang dan kekayaan. Sementara itu, dari segi terminologi (makna istilah), pengertian riba adalah nilai tambahan atau pembayaran utang yang melebihi jumlah piutang dan telah ditentukan sebelumnya oleh salah satu pihak.
Riba ini terbagi atas lima macam, pertama, Riba Fadhl. Riba adalah kegiatan transaksi jual beli maupun pertukaran barang-barang yang menghasilkan riba, namun dengan jumlah atau takaran berbeda. Misalnya, penukaran uang Rp100 ribu dengan pecahan Rp 2 ribu, akan tetapi totalnya 48 lembar saja, sehingga jumlah nominal uang yang diberikan hanya Rp 96 ribu, bukan Rp. 100 ribu. Selain itu juga penukaran emas 24 karat menjadi 18 karat. Kedua, Riba Yad. Riba jenis ini, yakni transaksi jual-beli dan juga penukaran barang yang waktu serah terima kedua barang mengalami penundaan. Contohnya, penjualan motor dengan harga Rp15 juta melalui kredit, tetapi baik pembeli maupun penjual tidak menetapkan berapa nominal yang harus dilunaskan hingga transaksi berakhir. Ketiga, yakni Riba Nasi’ah. Riba ini adalah kelebihan yang didapatkan dari proses transaksi jual-beli dengan jangka waktu tertentu. Adapun transaksi tersebut menggunakan dua jenis barang yang sama, namun terdapat waktu penangguhan dalam pembayarannya. Contohnya, penukaran emas 24 karat oleh dua pihak berbeda. Saat pihak pertama telah menyerahkan emasnya, namun pihak kedua mengatakan akan memberikan emas miliknya dalam waktu satu bulan lagi. Hal ini menjadi riba karena harga emas dapat berubah kapan saja. Keempat Riba Qardh. Riba jenis ini adalah tambahan nilai yang dihasilkan akibat dilakukannya pengembalian pokok utang dengan beberapa persyaratan dari pemberi utang. Contohnya pemberian utang Rp100 juta oleh rentenir, namun disertai bunga 20% dalam waktu 6 bulan. Kelima, adalah Riba Jahilliyah. Riba jenis ini adalah tambahan atau kelebihan jumlah pelunasan utang yang telah melebihi pokok pinjaman. Biasanya, hal ini terjadi akibat peminjam tidak dapat membayarnya dengan tepat waktu sesuai perjanjian. Contohnya peminjaman uang sebesar Rp20 juta rupiah dengan ketentuan waktu pengembalian 6 bulan. Jika tidak dapat membayarkan secara tepat waktu, maka akan ada tambahan utang dari total pinjaman.
Kelima jenis Riba ini menurut Fatwa MUI No 1 Tahun 2004 tentang bunga, hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, kita selaku umat Islam hendaklah melepaskan diri dari praktek riba tersebut. Karena Dalam Alquran disebutkan, bahwa “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila,” (Q: S : Al Imran, ayat 130). Semoga pesan Isra’ Mi’raj ini bisa kita jalankan dengan hati yang ikhlas untuk memuliakan kehidupan kita.
(Penulis adalah Alumni S2 Ekonomi Syariah UIN STS Jambi dan Ketua DKW Laskar Santri Nusantara Provinsi Jambi)