Penulis : Ratih Wijayanti, Meisy Puspita Sari
APAKAH kalian pernah mendengar tentang sistem zonasi yang diterapkan dalam Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)? Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk memastikan kesetaraan dalam kesempatan akses pendidikan dan telah menjadi pembahasan yang menarik di kalangan masyarakat. Meski begitu, pelaksanaannya dihadapkan dengan berbagai tantangan yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting, seperti apakah penerapan sistem zonasi sungguh efektif dalam mencapai kesetaraan pendidikan?
Menurut Pasal 16, semua sekolah di daerah tersebut wajib menerima setidaknya 90% dari siswa baru yang berasal dari daerah sekitar. Ini adalah revisi dari peraturan No. 17 tahun 2017 tentang pendidikan dan kebudayaan, yang belum berhasil meningkatkan pendidikan di sekolah-sekolah nasional. Penerapan undang-undang ini telah memicu berbagai debat di kalangan masyarakat umum. Sebagai tanggapan terhadap situasi yang disebutkan di atas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan peraturan baru untuk menegakkan Permendikbud No. 14 Tahun 2018, yang dianggap agak tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat umum. Kementerian Pendidikan juga menyarankan pemerintah daerah untuk mengintegrasikan kebijakan zonasi dalam Petunjuk Teknis (Juknis) penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Sistem zonasi sekolah menerima siswa baru berdasarkan tempat tinggal mereka. Program ini memiliki sejumlah manfaat, seperti memastikan pemerataan akses dan kualitas pendidikan, menjalin hubungan antara lingkungan sekolah dan keluarga, mengurangi eksklusivitas serta diskriminasi, mendukung pemetaan kebutuhan serta distribusi guru, mendorong kreativitas pendidik, dan membantu pemerintah daerah dalam menyediakan bantuan pendidikan (Kemdikbud, 2024).
Berdasarkan Mahpudin pada 2020, kebijakan zonasi bertujuan menyusun pedoman penerimaan siswa baru untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah (SMP dan SMA). Pelaksanaan kebijakan ini di tingkat daerah dilakukan secara teknis dengan mempertimbangkan hasil musyawarah kerja kepala sekolah (MKKS).
Penerapan sistem zonasi menghadapi berbagai tantangan, salah satunya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi yang melibatkan camat, lurah, kepala sekolah, dan masyarakat. Upaya sosialisasi ini belum sepenuhnya efektif menjangkau orang tua atau wali murid, sehingga banyak di antara mereka yang belum memahami konsep dan tujuan utama dari sistem zonasi. Ketersediaan operator daring masih kurang optimal, ditambah dengan keterbatasan kemampuan teknologi yang dimiliki oleh sebagian orang tua atau wali murid, yang menghambat mereka dalam memantau perkembangan proses evaluasi daring.
Sistem zonasi sendiri mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif, memberikan manfaat kepada calon peserta didik yang tinggal dekat karena meskipun nilai ujiannya tidak tinggi, mereka tetap dapat diterima di sekolah terdekat. Pemerataan pendidikan menjadi lebih mudah tercapai melalui sistem zonasi pendidikan. Setiap orang dapat belajar di sekolah yang mereka pilih tanpa khawatir akan ditolak oleh calon siswa dengan keunggulan akademik atau non-akademik (Riski Tri Widyastuti, 2020).
Dampak negatif bagi siswa dan pendidik, antara lain: beberapa guru mengeluh bahwa siswa memperoleh nilai yang terlalu tinggi di bawah KKM (terutama dalam mata pelajaran teori yang terlalu banyak), semakin banyak pelanggaran tata tertib seperti membolos, terlambat, berkelahi, tidak mengenakan atribut lengkap, dll, menjadi lebih sulit untuk membimbing siswa, munculnya pelanggaran baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, peningkatan jumlah siswa yang timbulnya geng-geng negatif yang berasal dari institusi pendidikan sebelumnya, banyak perkelahian terjadi di luar sekolah karena pengetahuan tentang lingkungan sekitar dan kebiasaan buruk dibawa ke sekolah dari rumah (Sentot Setia Budi).
Menurut penulis, kebijakan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dibuat dengan tujuan menjadikan akses pendidikan merata dan mengurangi perbedaan di antara sekolah. Secara garis besar, meskipun sistem zonasi memberikan berbagai keuntungan dalam mempromosikan kesetaraan pendidikan, tantangan dalam pelaksanaannya serta disparitas kualitas sekolah tetap menjadi fokus utama yang perlu diatasi oleh pemerintah.
Diperlukan langkah yang lebih baik dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan mengelola sistem zonasi agar kebijakan ini dapat memberikan manfaat yang optimal.
(Penulis adalah mahasiswa prodi Tadris Matematika Semester 5 UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi).