HAMPIR semua ummat manusia mengetahui bahwa hasrat yang diiringi syahwat tak pernah terbatas. Fokus yang dikejar mati matian oleh manusia biasanya tak jauh jauh dari harta, tahta dan wanita.
Diksi “keinginan” (tanpa batas) itulah yang menjadi sumber petaka bagi manusia. Mengingat, hasrat yang berlebihan jika tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya untuk memenuhinya memunculkan ego. Ego ini terkadang mengesampingkan kebutuhan dan keinginan orang lain.
Itulah sebabnya mengapa sekujur tubuh ilmu ekonomi didesain guna memberikan solusi kepada manusia dalam memenuhi hasratnya tersebut. Metode dan prosedur pemikiran dirancang agar khalayak bisa memperoleh kepuasan tertinggi di atas keterbatasan sumber daya itu.
Kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail memberikan pelajaran bahwa kepuasaan tertinggi itu diperoleh ketika ego dikubur. Saat Ismail lahir, Ibrahim menguburkan ego nya untuk selalu dekat dengan Siti Hajar dan anak semata wayangnya itu. Mengingat, Allah menyuruh Ibrahim membawa Siti Hajar dan Ismail menyusuri padang pasir yang gersang menuju Lembah Bakkah (kini Mekkah) yang tandus jauh darinya itu.
Saking lamanya di tinggal di lembah tandus itu, membuat Siti Hajar kehabisan bekal. Lalu, lari lari antara Bukit Safa dan Marwah. Padahal, sumber mata air Zam Zam itu ternyata dibawah tapak kaki Nabi Ismail sendiri. Peristiwa ini memberikan pelajaran bahwa tugas manusia itu berusaha maksimal, hasilnya keputusan Allah.
Lalu perintah penyembelihan Ismail itu bentuk keberanian Nabi Ibrahim menguburkan ego. Dia berani menukar mimpi dengan keimanan. Tidak dapat dibayangkan seorang anak dikurbankan secara ikhlas bila tanpa keyakinan. Ismail mengkonversi nubuat menjadi sikap tawakal mutlak. Ia percaya tetes darah yang akan keluar dari lehernya ialah semburat kehidupan makhluk lainnya. Kurban bukan peristiwa kematian, tapi menyalakan kehidupan.
Sejarah kurban sendiri adalah kisah keyakinan yang dipertaruhkan. Hidup bukan melulu perkara memiliki dan menguasai, tapi juga mengikhlaskan dan berbagi. Riwayat mencatat penyembelihan Ismail bukanlah sebuah keruntuhan, tapi justru awal penciptaan peradaban.
Bagi yang mengimani ketauhidan dan segepok nilai agung kemanusiaan, pilihan penguburkan ego yang sering menerbitkan angkara adalah jalan terbaik. Hari raya kurban hanya terminal, tetapi sesungguhnya pengendalian diri mesti diperagakan pada setiap meter perjalanan. Berkurban sebetulnya simbolisasi atas kemenangan hakikat melawan syahwat memiliki yang berlebihan. Maaf lahir batin bermukim dalam tindakan perbaikan, bukan hanya ucapan di lisan.
Selamat Idul Adha 1443 H. Mohon maaf lahir dan batin.
(Penulis adalah pegiat desa dan TAPM Kabupaten Batanghari)