HAMPIR semua ummat manusia mengetahui bahwa hasrat yang diiringi syahwat tak pernah terbatas. Fokus yang dikejar mati matian oleh manusia biasanya tak jauh jauh dari harta, tahta dan wanita.
Diksi “keinginan” (tanpa batas) itulah yang menjadi sumber petaka bagi manusia. Mengingat, hasrat yang berlebihan jika tidak diimbangi dengan kemampuan sumber daya untuk memenuhinya memunculkan ego. Ego ini terkadang mengesampingkan kebutuhan dan keinginan orang lain.
Itulah sebabnya mengapa sekujur tubuh ilmu ekonomi didesain guna memberikan solusi kepada manusia dalam memenuhi hasratnya tersebut. Metode dan prosedur pemikiran dirancang agar khalayak bisa memperoleh kepuasan tertinggi di atas keterbatasan sumber daya itu.
Puasa memberikan pelajaran bahwa kepuasaan tertinggi itu diperoleh ketika ego dikubur sedalam mungkin. Berlapar ria dan menahan dahaga seharian, memunculkan kepuasaan tertinggi menikmati makanan dan minuman saat berbuka.
Memang sejarah puasa adalah kisah keyakinan yang dipertaruhkan. Keyakinan bahwa bersamaan dengan kesulitan akan muncul kemudahan. Berlapar ria dan menahan dahaga menunjukkan bahwa hidup bukan melulu perkara memiliki dan menguasai, tapi juga mengikhlaskan dan berbagi. Riwayat mencatat, menahan lapar dan dahaga bukanlah sebuah keruntuhan, tapi justru awal penciptaan peradaban kemanusiaan.
Bagi yang mengimani ketauhidan dan segepok nilai agung kemanusiaan, pilihan penguburkan ego yang sering menerbitkan angkara adalah jalan terbaik. Ramadhan hanya terminal, tetapi sesungguhnya pengendalian diri mesti diperagakan pada setiap meter perjalanan kehidupan. Akhir ramadhan, Idul Fitri menanti dengan simbolisasi kemenangan melawan hasrat yang berlebihan.
(Penulis adalah pegiat desa dan TAPM Kabupaten Batanghari)