Legitimacy Politik dan Akreditasi           

publisher

Oleh : Navarin Karim

Pengakuan (legitimacy) Politik dan Akreditasi Perguruan Tinggi (PT) sama-sama memerlukan pengakuan masyarakat.  Legitimacy dapat dianggap penting dan dapat pula bukan merupakan persyaratan penting dalam pemilihan Presiden dan pemilihan gubernur/Bupati/walikota. Bagi masyarakat yang menuntut kualitas, legitimacy sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Bagi petarung pilpres, pilgub dan pilbub/pemilihan walikota legalitas lebih  penting dibandingkan legitimacy. Buktinya diantara kompetitor jika beda kemenangan Cuma 1 % saja sudah cukup baginya  memperoleh kekuasaan secara sah. Terjadi di suatu daerah, partisipasi  pemilih 63 %, Dua pasangan bersaing ketat, pasangan A memperoleh suara 32 % dan pasangan B memperoleh suara 31 %. Perbedaan 1 % sudah cukup bagi pasangan A secara legal mendapat kekuasaan sebagai kepala daerah. Walau secara defacto yang mengakui kemenangan pasangan A hanya 32 %. Itulah legitimacy, artinya dalam pemilihan kepala daerah persoalan legitimacy tidak dianggap penting-penting sekali. Yang penting, aku senang, aku menang kata Iwan Fals (sitir dari lagu Bento). Beda dengan Perguruan Tinggi secara legitimacy memperoleh akreditasi A, B atau unggul,  baik sekali dapat menjadi gugur pengakuannya oleh masyarakat, jika hasil survey menunjukkan  program studynya merupakan program study “yang disesali alumni”  karena si alumni sulit  memperoleh pekerjaan. Oleh sebab itu sebagai  pengelola PT, Tim Akreditasi PT, dosen jangan bangga dulu, dengan capaian predikat tersebut, karena bukanlah segalanya.  Akreditasi adalah pengakuan lembaga penilai, bukan pengakuan real masyarakat. Seharusnya prodi yang disurvey mendapat predikat sebagai prodi yang disesali alumni, merasa berdosa karena lembaga pendidikan menciptakan  pengangguran potensial dust perangkap kemiskinan, walaupun si alumni masuk tataran elite intelektual.

BACA JUGAMegawati di Pusaran Demokrasi (Tinjauan Idealisme Politik)

Masukan bagi Dikti                                                                                          

Cermati hasil survey tentang pendidikan. Mau tidak mau Dikti harus punya devisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) seperti partai profesional yang melakukan survey mandiri (baca : bukan lembaga survey). Litbang Dikti  melakukan survey secara periodik terhadap semua program sudy untuk mengetahui  prodi-prodi yang jenuh  dan tidak terserap di pasar tenaga kerja. Selanjutnya terhadap prodi yang sudah jenuh tersebut dianjurkan mengganti dengan program-program study yang diperlukan pemerintah dan swasta. Sama juga dengan pemilihan kepala Daerah, kita pilih kepala daerah yang berempaty dengan kebutuhan masyarakat. Visi, misi dan program bukan sekedar aksesoris buat perangkap masyarakat memilih saja. Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), sudahilah kebijakan menambah program-program studi yang sudah jenuh, terutama untuk prodi yang sudah tidak menjanjikan lapangan pekerjaan. Jangan ada lagi dalam satu daerah  ada dua atau tiga Perguruan Tinggi (PT) yang menawarkan program studi yang sama. Disversikasi prodi diperbanyak, misal membuka  prodi Artificial Inteligence dan Deseign grafis yang diperlukan di era kemajuan tehnologi informasi. Batasi dan kalau perlu tutup penerimaan mahasiswa untuk program studi yang sudah jenuh. Teringat masa orde Lama dan  Orde Baru, mahasiswa yang cari kampus. Sekarang ini PT cari mahasiswa. Dengan banyak mahasiswa tentu berkorelasi dengan pemenuhan kebutuhan operasional kampus.

BACA JUGA Menyoal Kebijakan Pengelolaan Sampah Kota Jambi

Masukan Bagi PT

PT perlu membentuk  unit yang memberikan informasi tentang formasi yang tersedia di instansi pemerintah dan swasta. Selanjutnya  memantau daya serap alumni di pasar tenaga kerja. Jika terserap secara baik dapat diteruskan, namun jika di luar harapan, segera kurangi kuota penerimaan mahasiswa baru. Alternatif lain membuka program studi baru yang betul-betul diperlukan dunia industri dan pemerintah. Selama ini untuk program study yang jenuh tersebut hanya dicangkokkan dengan memasukkan mata kuliah kewirausahaan sosial atau mencantumkan pada visi kata kewirausahaan (enterpreneurship). Namun tidak significant terhadap pengurangan pengangguran potensial, walau secara kuantitatas ada pengurangannya.

BACA JUGA : Membangun Jiwa Kepemimpinan Secara Dini

Masukan untuk Pemerintah Daerah.

Ekonomi Sektor Riil dalam wujud kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja. Hilirisasi segera disediakan di daerah yang mempunyai hulu (baca : potensi bahan baku). Pembinaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tidak cukup dengan pembinaan melalui penyuluhan, namun disertai dengan  dukungan modal pengembangan. Selanjutnya didampingi dan diawasi sampai Unit Mikro menjadi skala Kecil , dan Kecil  menjadi skala Menengah dan seterusnya.   Jika terjadi pengembangan dan peningkatan  (increasing) usaha, maka secara tidak langsung akan tercipta Kewirausahaan Sosial (KS). KS bisa terwujud jika memiliki modal yang mumpuni. Berkembangnya KS jelas memerlukan tambahan tenaga kerja. Jika dana APBD terbatas, pihak pemerintah perlu  menggandeng  pemilik modal (capital). Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) harus gencar dan aktif melakukan persuasi mencari pemilik modal yang berjiwa sosial, karena  kewirausahan sosial tidak dapat terwujud  jika tidak  mendapat dukungan dari  pemilik modal. Pemilik modal akan meningkat nilai pengembangan dirinya ketimbang hanya berdiam diri memperoleh tambahan penghasilan dari tabungan  (deposito). Kepedulian terhadap persoalan daerah (bangsa) akan meningkatkan rasa   empaty sosial  dalam rangka national building.  Jika hal ini tertanam pada pemilik modal, secara tidak langsung akan membuka lapangan pekerjaan dan menjadi peluang bagi tamatan Perguruan Tinggi yang belum dapat pekerjaan.

————————

Penulis adalah dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Jambi.