Kembalikan Kejayaan BuluTangkis Indonesia (Momentum Revitalisasi Nasionalisme)

publisher

 Oleh : Navarin Karim

 

MENONTON menonton siaran langsung Olmpiade cabang olahraga (cabor) bulutangkis sungguh menyesakkan dada, pemain-pemain  yang diharapkan menyumbangkan medali emas, tidak disangka sudah kalah duluan di fase group. Pasangan ApriyaniRahayu/Siti FadiaSilva Ramadhanti 3 kali tanding, 3 kali kalah. PasanganRinov/Pithan (Ripit) 2 x kalahdansekalimenang. Jonathan Cristie kalah dengan Laksya Sen, Antoni Sini Suka Gintingkalah dengan Thomas Yunior Popov (pemain tuan rumah).

Dua ganda dan dua single ini langsung tersingkir dibabak penyisihan fase group.  Menyedihkan sekali. Masih beruntung pasangan Fajar/Alfian masuk keperdelapan final walau kalah dari pasangan tangguh India (SatwiksairajRankireddy/Chirag Shetty) . Tunggal puteri yaitu Georgia Marisa Tunjung, bisa semi final dan memberi harapan ketika menang set pertama, namun kembali luruh rasa badan ketika kalah set ke dua dan ketiga.

Singkat cerita drama terjadi Georgia Marisa Tunjung akhirnya menyumbangkan medali pertama di olympiade Paris, walau hanya perunggu. Bandingkan masa kejayaan bulutangkis di era OrdeBaru, kita punya legenda-legenda bulutangkis ditunggal putera seperti Rudy Hartono, LiemSwie King, Icuk Sugiarto, Hariyanto Arby, Alan Budi Kusuma, Ardi B. Wiranata, Joko Suprianto, Hermawan Susanto dan Taufik Hidayat.

Di tunggal puteri ada :Verawaty Fajrin, Susi Susantidan Mia  Audina. Di tunggal putera :Tjun-Tjun/Johan Wahyudi, Christian Adinata/Ade Chandra, Christian Adinata/Hadibowo, Kartono/Hariyanto, LiemSwie King/Kartono, Sigit Budiarto/Candra Wijaya, Rudy Gunawan/Eddy Hartono, Candra Wijaya/Toni Gunawan, Rexi Mainaki/Ricky Subakja.

Di era reformasi yang bisa dijadikan legenda adalah Hendra Setiawan/ Muhammad Ahsan, Kevin Sanjaya Sukamulyo/Marcus Gideon. Ganda campuran yang pernah melegenda adalah Praveen Jordan/Vita Marissa, Flandy Lympele/Vita Marissa, Praveen Jordan/Debby Susanto, Liliana Natsir/Nova Widianto, Liliana Natsir/Tantowi Ahmad. Sementara diganda puteri yang menjadi legenda adalah Greysia Polii/ApriyaniRahayu. Jika pemain-pemain yang disebut menang seolah nasionalisme kita bangkit. Etnosentisme muncul, siapa kita? Indonesia. Namun menonton kekalahan pemain-pemain bulutangkis di fase penyisihan, tidak lagi terdengar kata-kata komentator : siapa kita, karena jawabannya menjadi “tidak ada apa-apa”.

Kenapa prestasi bulutangkis Indonesia menurun?

Banyak penyebabnya diantaranya adalah : (1) Semakin banyak negara yang semula tidak pernah kedengaran prestasi  mulaiber kiprah seperti contoh Carolina Marin (Spanyol), Kevin Cordon (Guatemala), Tereza (Republik Ceko), Polina Buhrova (Ukraina), etc., (2) Negara-negara competitor mencari pelatih yang berkualitas, terutama dari Indonesia, (3) Efek nomor 2, rame-rame pelatih bulutangkis Indonesia eksodus ke Luar negeri. Ketika pebulutangkis Indonesia berguguran, malah Malaysia meloloskan 2 pemain ganda dan satu single di fase group dan berlanjut hingga semi final. Ada komentar di media yang kemukakan bahwa prestasi bulutangkis Malaysia lebih menyala dari Indonesia. Bahkan Malaysia mendapat dua perunggu. Ini berkat tangan dingin Hendeawan, Nova Widianto dan Rexi Mainaky . China Taipeh juga demikian, karena dilatih oleh Flandy Limpele, sehingga China Taipeh mendapat medali emas.

Ada hal yang menyakitkan dan tak enak dipandang mata, manakala terjadi pertandingan pemain bulutangkis Indonesia berhadapan dengan pemain bulutangkis negara lain yang kebetulan pelatihnya dari Indonesia. Ketika pemain Indonesia tidak bias mengembalikan serangan dari lawan, pelatih yang berasal dari Indonesia tersebut malah bertepuk tangan. Secara profesionalitas pelatih memang menguntungkan secara pribadi, namun secara nasionalisme tidak enak dipandang/ditonton masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia pasti membatin dengan bergumam : “bagaimana sih Nasionalisme mu!”.Jika  pelatih tersebut wise seyogianya jangan bergeming dengan menahan diri. Ketika rehat atau saat luput dari awak media, silakan memuji pemain yang dilatihnya. Iniuntuk menjaga perasaan masyarakat Indonesia agar tidaktercedarai/terlukakan.

Momentum Revitalisasi Nasionalisme

Prabowo Subianto tak lama lagi dilantik jadi Presiden Republik Indonesia yang kedelapan. Beliau selalu menggebu-gebu/berapi-api jika bicara nasionalisme. Ini adalah momentum kita mengharapkan tindakan nyata Presiden yang terpilih dan dilantik untuk menggunakan “bargaining powernya” dalam menarik kembali pelatih-pelatih luar negeri yang melatih pemain asing. Pemanggilan warganegara Indonesia yang dianggap berprestasi di luar negeri pernah dilakukakan Soeharto ketika Habibie masih  mengelola perusahaan pesawat terbang di Jerman, diminta kembali ke Indonesia untuk membangun perusahaan pesawat terbang (Nurtanio) di Indonesia. Tentunya reward lebih besar yang diperoleh, karena diberi jabatan Menteri Riset dan Teknologi, kemudian menjadi Wakil Presiden, Tentunya untuk pelatih Indonesia yang melatih di luar negeri tersebut dijanjikan untuk diberi kompensasi yang lebih menggiurkan dibandingkan ketika ia melatih di luarnegeri.

Mudah-mudahan dengan kembalinya pelatih-pelatih Indonesia di Luar negeri tersebut, prestasi pemain bulutangkis Indonesia kembali masa jayanya. Hope dreams come true.

Penulis penghobi dan pengamat olahraga cabang bulutangkis.