Oleh : Muhammad Sibawaihi, M.H
MODERASI beragama (wasathiyah) memiliki landasan teologis yang kuat dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasathan (pertengahan/moderat)” (QS. Al-Baqarah: 143).
Ayat inilah mungkin yang menginspirasi warga Provinsi Jambi. Tepatnya warga Perumahan Arza Aur Hijau, Mendalo Darat, RT 14, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi. Di perumahan ini ditemukan manifestasi harmonisasi kehidupan beragama. Mereka berbaur antara satu dengan yang lainnya. Baik yang berasal dari warga NU, Muhammadiyah, maupun LDII. Harmonisasi kehidupan beragama ini mewarnai keseharian warga perumahan tersebut.
Warna kehidupan itu diilhami oleh hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari).
Semangat hadist ini tercermin dalam praktik sosial-keagamaan warga RT 14 Desa Mendalo Darat. Di mana perbedaan pemahaman fiqhiyah tidak menghalangi terciptanya ruang-ruang perjumpaan yang konstruktif.
Dalam konteks sosiologi agama, fenomena yang terjadi di komunitas perumahan ini merepresentasikan apa yang disebut Robert N. Bellah sebagai “civil religion” – di mana nilai-nilai keagamaan bertransformasi menjadi perekat sosial yang melampaui sekat-sekat doktrinal. Fenomena yang menarik adalah bagaimana warga dengan latar belakang LDII dan Muhammadiyah – yang secara organisatoris dikenal memiliki pandangan berbeda tentang tradisi keagamaan – justru menunjukkan sikap akomodatif terhadap praktik-praktik seperti selamatan tujuh hari, yasinan rutin Jumat, dan perayaan Maulid Nabi.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengemukakan konsep “pribumisasi Islam” yang relevan dengan konteks ini. Menurutnya, Islam dan tradisi lokal dapat berdialog secara produktif tanpa harus saling menafikan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab yang menegaskan bahwa perbedaan interpretasi keagamaan seharusnya menjadi rahmat, bukan sumber perpecahan.
Kunci dari harmonisasi ini terletak pada pemahaman dan implementasi prinsip moderasi beragama yang sejalan dengan panduan Kementerian Agama RI. Setidaknya ada empat indikator moderasi beragama yang teramati dalam dinamika sosial di RT 14: Pertama, komitmen kebangsaan yang tercermin dari partisipasi aktif seluruh warga dalam kegiatan kenegaraan tanpa memandang afiliasi keagamaan. Kedua, toleransi yang termanifestasi dalam sikap saling menghormati perbedaan praktik ibadah. Ketiga, anti-kekerasan yang terwujud dalam resolusi konflik yang selalu mengedepankan dialog. Keempat, akomodatif terhadap budaya lokal yang tercermin dari pelestarian tradisi gotong royong.
Allah SWT berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Ali Imran: 103). Ayat ini menjadi landasan bagaimana moderasi beragama di lingkungan perumahan ini tumbuh secara organik melalui interaksi sehari-hari. Kegiatan sosial kemasyarakatan seperti kerja bakti, arisan RT, yasinan rutin, dan perayaan hari besar Islam menjadi medium perjumpaan yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mengelola keragaman.
Prof. Dr. Said Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU, sering menekankan bahwa perbedaan dalam cara beribadah adalah rahmat yang memperkaya khazanah keislaman. Fenomena ini sejalan dengan konsep “pluralisme aktif” yang digagas Diana L. Eck, di mana keragaman tidak sekadar dirayakan, tetapi dikelola secara aktif untuk menciptakan kohesi sosial. Warga RT 14 tidak hanya “toleran” dalam arti pasif, tetapi aktif membangun engagement lintas aliran melalui berbagai kegiatan bersama.
Dalam perspektif pembangunan sosial, apa yang terjadi di Perumahan Arza Aur Hijau dapat menjadi model mikroskopis bagaimana moderasi beragama dipraktikkan dalam konteks urban-suburban.
Hal ini menjadi penting mengingat tantangan radikalisme dan ekstremisme keagamaan yang kian mengancam kohesi sosial di berbagai wilayah Indonesia. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”
Pembelajaran berharga dari komunitas ini adalah bahwa moderasi beragama bukan sekadar konsep normatif, melainkan praktik hidup yang dapat dirajut melalui interaksi sehari-hari.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menegaskan bahwa moderasi beragama adalah kunci bagi masa depan Islam Indonesia. Ketika setiap komunitas mampu mengelola perbedaan dengan bijak seperti yang terjadi di RT 14, maka cita-cita Indonesia yang damai dan harmonis bukanlah sekadar angan-angan. Perbedaan aliran keagamaan, alih-alih menjadi sumber konflik, justru memperkaya mozaik sosial dan menjadi laboratorium hidup bagi praktik moderasi beragama.
Pada akhirnya, fenomena di RT 14 Perumahan Arza Aur Hijau membuktikan bahwa moderasi beragama adalah modal sosial yang vital bagi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Praktik moderasi beragama yang berkembang di komunitas ini layak didokumentasikan sebagai salah satu model pengelolaan keragaman di level akar rumput, membuktikan bahwa harmoni antaraliran keagamaan bukan utopia, melainkan realitas yang dapat diwujudkan melalui komitmen bersama untuk mengedepankan nilai-nilai moderasi dalam beragama.
(Penulis : Dosen Fakultas Syariah UIN STS Jambi )