Oleh : Elita Rahmi
Diskriminasi Aset Tanah menjadikan Perempuan Indonesia terpuruk, miskin dan terancam dari kehidupan sosial lainnya, mereka menjadi figure yang kurang diperhitungkan dalam strata masyarakat desa, tidak diikutkan dalam pengambilan keputuskan, karena dari segi ekonomi, pendidian dan akses tanah mereka terpendal dari struktur negara khususnya persoalan pendaftaran tanah, yang tidak peduli dengan akses tanah terhadap perempuan.
Perempuan tanpa Pekerjaan, Perempuan tanpa tanah dan perempuan tanpa akses Sumber daya Alam sinomin dengan perempuan miskin structural . Keadaan ini berlangsung lama, akibatnya Indonesia sulit keluar dari kemiskinan turun temurun yang selama ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) Bersama bangsa Indonesia.
Perempuan tanpa asset diawali dari sistim budaya kelaki-lakian (patriakhi) yang demikian kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik di pedesaan dan perkotaan. Perempuan Indonesia tanpa sadar dan mungkin dengan sengaja kurang peduli bahwa lemahnya akses perempuan terhadap Sumber Daya Alam termasuk Tanah menyebabkan, tingginya angka urban perempuan desa hijrah ke kota ,akibat kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya di desa. Desa di kampung halamannya dikuasai oleh laki-laki, baik itu suami maupun kemenakan, sehingga ketika terjadi malapetaka keluarga, perempuan desa terpaksa harus pergi ke kota untuk menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) atau Tenaga Kerja Wanita ke luar Negeri (TKW) dan skill yang sangat terbatas.
Perempuan tanpa asset tanah juga disebabkan berubahnya tehnologi pertanian Indonesia dari yang sederhana, cangkul dan parang, arit diganti dengan mesin-mesin besar sehingga perempuan kehilangan akses, kesulitan ketika mengunakan mesin-mesin besar untuk mengolah tanah yang disewa atau gadai atau pinjam pakai tanah desa, atau tanah keluarga sehingga penggaguran perempuan desa meningkat tajam.
Perempuan tanpa asset tanah telah menjadi suatu mata rantai besar yang menyebabkan ekonomi negara terhambat, karena hilangnya kebutuhan primer manusia yakni papan atau rumah yang dibangun di atas tanah. menjadi penumpang gelap atas tanah yang ada,sehingga persoalan keadilan gender bidang pertanahan menempatkan perempuan Indonesia sulit keluar dari kemiskinan structural akibat kewajiban negara untuk membuka akses terhadap hak atas tanah bagi perempuan Indonesia belum menjadi agenda besar bagi Negara dan bangsa Indonesia.
Perempuan Tanpa Tanah
Fakta menunjukkan subyek tanah perempuan atau sertipikat tanah yang mengunakan nama perempuan baik sebagai istri atau sebagai anak atau sebagai anggota keluarga masih tergolong sangat minim, meskipun bagi rumah tangga ekonomi menengah ke bawah, suatu keluarga yang dapat membeli sebidang tanah, biasanya akibat kepandaian (skill) perempuan/istri/ibu yang dapat menyisipkan/menyimpang/ menabung dari kebutuhan keluarga yang serba diirit sang istri, artinya ketika membeli tanah yang diambil atau di buka adalah perhiasan istri baik itu kalung, cincin atau gelang yang dipakai atau yang disimpan sebagai aset keluarga, namun ketika tanah tersebut beralaskan hak atas tanah , maka yang dipakai sebagai subyek tanah hanya nama suaminya semata, bahkan nama istrinya nyaris tidak dicantumkan dalam sertipikat sebagai surat beharga keluarga, karena sertipikat dipastikan dapat dijadikananggunan diBank, sekaligus modal usaha. Perempuan tanpa tanah akan menjadi persoalan bagi bangsa dan Negara karena akan
berdampak pada konflik yang lebih besar berupa kehilangan akses ekonomi dan kehilanagan keberlangsungan hidup bila kelak terjadi perceraian atau perselisihan keluarga, bahkan untuk keluarga yang mempunyai anak, pada umumnya anak akan diasuh oleh ibunya, sehingga menuntut kebutuhan akan pendidikan, sandang, pangan, kesehatan , padahal ibunya tidak mendapatkan akses tanah atas hasil simpanan keluarga yang dijaga dan dipeliharanya sendiri, Perempuan tanpa tanah belum tersentuh dalam hukum pendaftraan tanah di Indonesia. Kewajiban Negara
Saatnya pemerintah membuka akses tanah bagi perempuan Indonesia, karena hanya dengan jalan tersebut kemiskinan perempuan akan terkikis bahkan akan hilang dari syukur juga dapat mengakses perlindungan anak, di mana nama anak-anaknya dapat dicantumkan dalam harta keluarga, karenanya hukum tanah di Indonesia adalah hukum yang sensitif atau hukum yang kolabotarif antara Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Gender, Hukum Perlindungan Anak, dengan demikian, melek akses tanah adalah menempatkan plus mewujudkan perempuan Indonesia dalam keadilan subtantif.
Kita pelototkan kebijakan pemerintah dalam menghimpun data base pendaftaran tanah Indonesia,agar tidak bersalahguna dan mengabaikan akses perempuan atas tanah yanag ada. Bukan waktunya lagi perempuan hanya menjadi penonton Negeri. Saatnya Negara, pemerintah dunia usaha dan masyarakat luas melek terhadap akses perempuan Indonesia atas tanah yang ada dan kita jaga keberlanjutan negeri ini dengan memanfaatkan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran akyat melalui akses tanah untuk perempuan Indonesia sebagai kado hari Ibu yang jatuh tanggal 22 Desember 2019.Akses tanah perempuan Indonesia menuju keadilan keadilan gender. (Elita Rahmi adalah Pengajar Hukum Agraria dan Hukum Gender di Fakultas Hukum Universitas Jambi)