USAI sudah pilgub Jambi. Rangkaian panjang proses politik yang menyita energi publik. Dimulai dari masa Kampanye sejak oktober 2020, Pemilihan tanggal 9 Desember, Persidangan di MK, PSU tanggal 27 Mei 2021 hingga penetapan KPU Provinsi Jambi tanggal 3 Juni 2021.
Berbagai cerita dan kisah setelah penetapan PSU tanggal 27 Mei 2021 memang menarik untuk ditunggu. Memenuhi dahaga publik terhadap nasib politik Jambi setelah sempat berlarut-larut hingga memasuki bulan Juni.
Semula ada seruan dari berbagai pihak untuk menerima hasil PSU. Termasuk rekonsiliasi untuk menyejukkan pilgub yang sempat sedikit memanas.
Paska PSU tanggal 27 Mei 2021, berbagai cerita dan kisah mulai menarik diikuti. Entah dengan berbagai upaya rekonsiliasi, adanya himbauan agar hasil PSU dapat diterima oleh berbagai pihak, upaya mempertemukan berbagai tokoh untuk menyejukkan suasana paska PSU.
Berbagai pihak kemudian menyambut dengan Terbuka agar PSU dapat diterima. Kapolda Jambi dan Korem Jambi mendapatkan apresiasi untuk menjaga tertibnya PSU. Tokoh-tokoh agama dan tokoh adat kemudian berharap agar Pembangunan dapat dilanjutkan.
Sempat adanya kekhawatiran ketika berbagai rapat pleno kabupaten sempat adanya penolakkan penandatangani hasil pleno. Bahkan semakin kencang issu ketika sebagian kecil mulai mempersoalkan pelaksanaan PSU.
Namun dengan dukunga berbagai sumber yang kredibel, asupan informasi yang memadai, saya meyakini, bahwa proses PSU akan dapat diterima.
Malam ketika habis pelaksanaan PSU, saya sudah mendapatkan kabar. Adanya keinginan dari berbagai Partai untuk menerima hasil PSU. Bahkan adanya seruan agar dapat menanda tangani berita acara di Kecamatan dan di Kabupaten.
Isu itu semakin kencang ketika semakin banyak tokoh-tokoh penting pelaksanaan PSU meminta agar PSU disudahi.
Meminjam satu kata Penting “Pilgub telah usai”, mari kita bergandengan tangan” semakin mengkristal. Menguat dan menggelinding menjelang Rapat Pleno Provinsi tanggal 3 Juni 2021.
Namun diibaratkan permainan basket, istilah “three point shut” justru menemukan momentum ketika pagi hari, Al Haris kemudian mendatangi rumah Dinas Bupati Sarolangun.
Photo kemudian banyak berbicara. Sikap dan keteladanan CE menerima Al Haris dapat mengungkapkan bagaimana jalinan cerita dapat disusun.
Yang menarik perhatian saya adalah tokoh Penting. Menemani Al Haris dari Bangko menemui CE adalah KH. Abdul Sattar Saleh. Tokoh Agama yang dihormati CE yang juga dikenal masyarakat Jambi.
Tidak dapat dipungkiri, kedatangan Al Haris ditemani oleh KH. Abdul Sattar Saleh (Buya Sattar) menjawab misteri. Hubungan personal Al Haris dan hubungan personal CE dengan Buya Sattar.
Berbagai perjalanan dan safari CE dapat dilihat dari proses panjang. CE sering ditemani Buya Sattar keliling ke berbagai tempat. Dengan demikian, maka posisi Buya Sattar dihormati oleh CE.
Sedangkan nama buya Sattar cukup familiar di masyarakat Merangin. Tempat dimana kelahiran Al Haris dan menjabat Bupati Merangin sejak 2013.
Mengenal Buya Sattar dapat dilihat didalam berbagai kisah, buku ataupun perjalanannya. Salah satu skripsi Selia Lestari, UIN Jambi yang menuliskannya dengan judul “KH. Abdul Sattar Saleh – Pejuang Dakwah dan Pesantren di Kabupaten Merangin”.
KH. Abdul Sattar Saleh atau lebih dikenal di kalangan masyakarat dengan panggilan Buya Sattar lahir pada tanggal 17 Juni 1946, di Desa Talang Segegah yang berada di Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
KH Abdul Sattar Saleh pertama kali belajar Al-Qur‟an dengan ayahnya sendiri tidak hanya itu Buya Sattar juga di ajarkan beberapa kitab-kitab yaitu seperti kitab Tafsir, kitab Fiqih dan sempat menematkan kitab Nahu beliau.
Pada tahun 1952 KH Abdul Sattar masuk ke Sekolah Rakyat (SR) yang dahulunya berdiri di Desa Talang Segegah Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan selesai pada tahun 1958. Disamping pada sore hari beliau juga belajar di Madrasah Nurussa‟adah di Desa Muaro Panco yang berjarak tidak begitu jauh dari Desa Talang Segegah Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, di Madrasah itu beliau mengenyam pendidikan selama 2 tahun. Pada usia 14 tahun yaitu sekitar tahun 1960 beliau mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan niat dan tekat yang bulat juga didorong oleh dukungan orang tuanya yang menginginkan anaknya menjadi seorang ulama besar maka beliau berangkat ke seberang kota Jambi kurang lebih 1 hari perjalanan penuh pada masa itu.
Dikenal sebagai Ulu Gedong. Tempat Madrasah Nurul Iman. Pondok Pesantren yang memadukan pondok Pesantren salafiyah. Yang mengajarkan secara kelompok/individu yang mengkhususkan kitab-kitab klasik berbahasa arab. Metode ini biasa dikenal “mengaji kitab kuning”.
Buya Sattar kemudian Belajar tentang kitab Tafsir Hadist, Kitab Nahu. Langsung berguru kepada Ja’far, Guru Madji Abdul Ghafar, Abdul Saman Muhi.
Tepatnya di dusun Ulu Gedong di Madrasah Nurul Iman. Pondok pesantren Nurul Iman merupakan pondok pesantren kombinasi dan perpaduan antara pondok pesantren salafiyah (lama, dahulu, atau tradisional). Disebut shlafiyah karena pondok pesantren Nurul Iman menyelenggarakan pelajaran dengan dengan pendekatan tradisional. Pelajaran ilmu- ilmu agama Islam dilakukan secara individual (sorogan) dan secara kelompok (bandongan/klasikal) yang menghususkan kitab-kitab klasik berbahasa arab (kitab kuning). KH Abdul Satar Saleh beliau pada saat mengenyam pendidikan di pondok pesantren Nurul Iman pada masa itu beliau sangat menyukai pembelajaran salah satunya kitab Tafsir Hadis, kitab Nahu dan sebagainya. KH Abdul Sattar Saleh di mana saat mengenyam pendidikan di pondok pesantren Madrasah Nurul Iman beliau berguru dengan Ja‟far (orang tua dari Abdurrahman Sayuti), guru Madjid Abdul Ghafar, Abdul Saman Muhi (Mudir Nurul Iman). Selesai selama lima tahun pada tahun 1965.
Buya Sattar juga kemudian melanjutkan ke Jakarta. Di Universitas Islam As-Syafi’iyah. Mengambil jurusan dakwah. Termasuk juga memperdalam dengan Habib Salim bin Jindan, KH Mahmud Banten dan KH Nahwari Yogyakarta.
Tahun 1972 kemudian mengajar di pondok Pesantren Thafizul Qur’an Syech Amad Chatib . Dan kemudian menjadi imam rawatib di Masjid Al Ma’rifat di Lembang, Jakarta.
Tahun 1975 mendapatkan kesempatan Belajar di Mekkah. Mengambil jurusal Qismul Hadist selama 4 tahun.
Setelah menamatkan Pendidikan, tahun 1983 Buya Satar kembali ke Kampung Halamannya. Mendirikan masjid di Desa Talang Segagah.
Atas dukungan berbagai pihak, maka Buya Sattar kemudian mendirikan pesantren. Di Desa Titian Teras, Kecamatan Batang masumai. Dengan bentuk Yayasan Pendidikan Islam Syekh Maulana Qori. Ulama yang paling dihormati dan dikenal sebagai penyebar agama Islam pertama di Jambi. Terutama di Sarolangun dan Bangko. Sekitar abad 12. Beliau berasal dari Iraq.
Tidak lama kemudian berdiri Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Maulana Qori (STAI SMQ) Bangko. Pada awalnya bernama Sekolah Tinggi Ilmu Syari‟ah Syekh Maulana Qori (STISY SMQ) Bangko dengan program studi Qadha/peradilan agama.
Buya Sattar juga dikenal sebagai Pendiri pondok thafiz Al-Qur‟an yang didirikan di Desa Nedan yang letaknya tidak jauh dari Desa Titian Teras Kecematan Batang Masumai Kabupaten Merangin.
Disisi lain kiprahnya didunia politik juga dikenal sebagai anggota DPRD Kabupaten Sarko selama 3 Periode. Juga aktif wakil ketua MUI Kabupaten Sarko. Pada tahun 1992 sampai sekarang menjadi ketua MUI kabupaten Merangin, menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Provinsi Jambi, Ketua Mukhtasar PCNU, Wakil Rais am, Rais Syuriah NU.
Sehingga tidak salah kemudian Buya Sattar dikenal sebagai tokoh yang dihormati berbagai kalangan. Termasuk juga masyarakat Sarolangun.
Baik CE maupun Al Haris yang sudah mengenal Buya Sattar sebagai “orang tua” yang sangat dihormati. Sehingga tidak salah kemudian kedatangan Al haris ditemani Buya Sattar menemui CE di rumah dinas kemudian begitu menyejukkan.
Terlihat kemudian setelah bertemu, Keduanya terlihat akrab dan seakan-akan Pilgub yang melibatkan persaingan keduanya baru-baru ini seperti tidak pernah terjadi.
Usai sudah perjalanan panjang pilgub Jambi. Diakhiri pertemuan yang didampingi oleh Buya Sattar.
(Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani)