BLT DD 40 % dan Momentum BUMDes

publisher

Updated on:

KELUARNYA Peraturan Presiden (Perpres) No 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 190 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Keuangan Desa disikapi beragam oleh warga desa. Sikap ini tergantung dengan pengetahuan mereka terkait dengan regulasi tersebut. Salah satu amanat dari Perpres dan PMK ini adalah kewajiban desa untuk menganggarkan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) sebesar 40 % dari DD, kegiatan ketahanan pangan sebesar 20 % dan kegiatan Penanganan Covid 19 sebanyak 8 persen. Saking pentingnya BLT DD, dalam PMK 190 tahun 2021 disebutkan, penyaluran DD untuk BLT itu dipisahkan dari Dana Desa Reguler. Jika dana desa reguler disalurkan dalam tiga tahap, sedangkan dana desa untuk BLT DD disalurkan maksimal per triwulan. Itupun sesuai dengan jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang terekam di Omspan (Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara, red). Sedangkan jika BLT DD yang dialokasikan desa tidak mencapai 40 %, maka sisa dananya tidak disalurkan ke rekening desa. Tetapi, menunggu laporan dari pemerintah kabupaten kota untuk kemudian dapat direalokasikan kembali ke daerah yang bersangkutan (belum tentu ke desa penerima DD, red) bila telah mendapat persetujuan dari kementerian keuangan.

BLT DD ini erat kaitannya dengan target pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem hingga nol persen ditahun 2024. Berdasarkan data yang dipublikasikan BPS, pada September 2019 tingkat kemiskinan berada di angka 9,22%, setelah sebelumnya mencapai 11,22% pada Maret 2015.

Ketika baru saja dihantam pandemi, tingkat kemiskinan langsung naik secara signifikan hingga ke angka 9,78% pada Maret 2020. hingga Maret 2021 angka kemiskinan justru kembali meningkat menjadi 10,14%. Sementara menurut data BPS (2021), tingkat kemiskinan ekstrem (pendapatan di bawah USD1,9 per hari) Indonesia berada pada level 4 persen atau setara 10,86 juta jiwa. Untuk mengikis angka kemiskinan ini, pemerintah menggelontorkan sejumlah program dengan tiga pendekatan. Diantaranya, membantu mengurangi beban atas pengeluaran rumah tangga, meningkatkan pendapatan, dan menginisiasi bantuan sosial.

BLT DD ini merupakan salah satu program yang dijalankan pemerintah menggunakan tiga pendekatan tersebut. Disamping diharapkan mengurangi beban pengeluaran rumah tangga, BLT DD ini juga diharapkan meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Memang ada opini yang menyebutkan warga desa secara ekonomi banyak yang tak terdampak Covid 19, karena tingginya harga sawit saat ini. Tapi, itu hanya prediksi  secara mikro. Sedangkan patokan dalam pengambilan kebijakan nasional, adalah kondisi ekonomi makro. Dimana pandemi Covid 19 ini telah meningkatkan jumlah orang miskin baru.

Bagi desa yang selama ini mengalokasikan sebagian besar anggaran DD untuk pembangunan infrastruktur memang terkaget kaget dengan Perpres 104 Tahun 2021 dan PMK 190 Tahun 2021 tersebut. Tapi jika dicermati dengan baik, regulasi ini merupakan stimulus dalam melejitkan potensi ekonomi desa. Bayangkan, dengan adanya alokasikan anggaran 40 persen untuk BLT DD, artinya hampir separu DD bisa menambah pendapatan masyarakat desa. Jika diukur per kepala keluarga, memang jumlahnya tidak seberapa hanya Rp. 300.000 per KK. Tapi jika diakumulasikan keseluruhan keluarga penerima manfaat (KPM) dalam setahun, jumlahnya cukup fantastis mencapai ratusan juta rupiah.

Jumlah yang fantastis ini merupakan potensi perputaran ekonomi desa yang luar biasa. Ceruk ekonomi ini idealnya dimanfaatkan oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dengan menyiapkan kebutuhan warga masyarakat penerima BLT DD itu. Bayangkan dalam setahun, BUMDesa memiliki omzet ratusan juta rupiah, maka tentunya akan menghasilkan laba yang lumayan. Minimal bisa memberikan gaji untuk pegawai BUMDesa.

Sekarang tinggal lagi, apakah momen ini bisa dimanfaatkan BUMDesa atau tidak ? Itu tergantung dengan kebijakan masing-masing pengurus BUMDesa itu sendiri. Jika membiarkan peluang ini berlalu begitu saja, maka lagi-lagi BUMDesa hanya jadi penonton di lapangan sendiri.

(Penulis adalah Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM)  Kabupaten Batanghari)