HEBOH dugaan kebocoran info sistem Pemilu, Denny Indrayana mendapat informasi soal putusan Mahkamah Konsitusi perihal sistem Pemilu mendatang. Penulis tidak menaggapi persoaalan tersebut, biarlah pakar hukum yang menanggapinya agar sesuai dengan konsistensi filsafa keilmuan.
Penulis akan menanggapi rasionalisasi urgensi kontemporer dan kedepan mengapa diperlukan ada perubahan sistem pemilu khususnya penentuan calon legislative dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Rationalisasi Pemilihan Tertutup
Sistem penentuan pemilihan legislative secara proporsional secara terbuka memang punya kelebihan dalam mengeliminir membeli kucing dalam karung, namun dengan asumsi pemilih sudah berada pada level perilaku rational, dengan kata lain sudah sesuai dengan kriteria yang dikemukakan Profesor Dr. Budiono ( mantan wakil Presiden RI) pernah kemukakan : electoral secara langsung dapat diterapkan secara ideal dengan asumsi masyarakat sudah berpendidikan tinggi dan ekonomi sudah mapan (establish). Faktanya konstituen dan masyarakat pemilih masih ada dikhotomi pemilih menengah ke bawah dan menengah ke atas, dimana kelas menengah kelas menengah ke bawah jauh lebih banyak dibandingkan kelas menengah keatas. Konsekuensinya dengan pemilihan secara proporsional terbuka sangat memungkinkan caleg yang memiliki amunisi (baca: financial) yang lebih akan berpeluang terpilih, karena pemilih masih rentan dengan money politik NPWP (Nomor Piro Wani Piro). Dust jika terpilih sebagai legislative mereka harus tetap bertanggung jawab terhadap partai, karena melekat posisi sebagai petugas partai.
Kelebihan sistem proporsional tertutup adalah : (1) memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya. Walau sudah ada ketentuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa partai harus mengajukan caleg wanita minimal 30 %, Namun kenyataannya masih saja terjadi proporsi legislative laki-laki jauh lebih banyak dibandingkan wanita. Sementara itu Sense kedaerahan selama ini memang memang masih terjadi karena kriteria obyektif belum ada. (2) Mampu meminimalisir praktek politik uang. Hal ini ada benarnya karena oknum caleg jika berikan stimulus uang kepada pemilih bukan untuk memilih yang bersangkutan tetapi yang dipilih adalah partai. Kalaupun tetap spekulasi memberikan stimulus berupa uang tidak akan maksimal seperti sebelumnya, karena ada keraguan, kecuali oknum caleg mendapat nomor urut kepala. (3) Meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol. Rationalisasinya adalah partai akan meningkatkan kualitas partai bukan hanya jangka pendek, tetapi untuk jangka panjang. Oleh sebab itu kaderesasi anggota merupakan keniscayaan. Supaya ada dasar yang kuat maka proses kaderisasi dan promosi caleg harus ada pelembagaan yang jelas dan sudah ada kepastian. Dengan demikian loyalitas anggota partai meningkat dan loncat pagar atau pindah partai dapat dieliminir karena tidak ada kepastian diusulkan sebagai caleg.
Mencari Metode Recruitment Caleg Yang Tepat.
Jika benar isu Mahkamah Konstitusi akan memutuskan(DUK) sistem Pemilu Proportional Tertutup, maka partai harus ubah mind set partai yang semula jangka pendek ke orientasi jangka panjang dalam pengkaderan anggota partainya. Penulis mengusulkan Partai membuat Daftar Urut Keanggotaan Partai (DUK). Gagasan ini inspirasinya berasal dari Administrasi/Manajemen Kepegawaian PNS masa Lembaga Administrasi Negara dipimpin AE Manuhuruk. Pegawai yang akan dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi diprioritaskan untuk PNS yang sudah saatnya urutan/gilirannya dipromosikan. Dalam penyusunan Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) disusun dengan membuat kriteria obyektif yaitu potensi, pengkaderan, pendidikan/pelatihan dan senioritas.
Menurut penulis Pola DUK PNS ini ada baiknya diterapkan dengan sedikit modifikasi karena dengan merubah kepanjangan akronim DUK yang semula Daftar Urutan Kepangkatan menjadi Daftar Urutan Keangotaan. Manfaat DUK di partai penulis yakini penentuan caleg akan lebih obyektif dan menimbulkan rasa puas dalam manintenance anggota partai.
Dalam institusionalisasi kepartaian perlu dibuat kriteria obyektif DUK : (1). Seleksi idiologi, karena idiologi turunannya adalah prinsip. Apakah yang bersangkutan mempunyai prinsip yang kuat searah dengan visi dan misi partai. (2) Pendidikan minimal sarjana, jangan lagi tamatan SMA/sederajat sudah dinaikkan baleghonya. Hal ini perlu diperhatikan, karena salah satu fungsi legislative adalah regulasi. Mungkin secara verbal tahu substansinya, namun pengejawantahan dalam aturan tertulis sulit dituangkannya (3). Pelatihan/pengkaderan berjenjang yang pernah diikuti oleh anggota partai. Misal pengkaderan bagaimana berkomunikasi dalam menyampaikan orasi ketika kampanye, jangan sampai setelah terpilih jadi anggota legislative tidak mampu mempraktekkan agregasi kepentingan, padahal parlemen sendiri berasal dari kata parle yang sinonimna (bicara/katakan atau talk dalam bahasa Inggrisnya. Perlu juga pengkaderan/pelatihan pemasaran sehingga mampu membuat strategi jitu bukan hanya untuk personal, tetapi untuk partai secara komprehensif, pelatihan tentang tupoksi legislatif seperti pembuatan regulasi, penanggaran dan pengontrolan yang efektif, Juga diperlukan pelatihan metode survey, tujuannya adalah disamping yang bersangkutan bisa survey popularitas dan elektabilitas pribadi, juga untuk survey kepentingan partai. Dengan demikian partai tidak perlu lagi menggunakan lembaga2 survey yang belum benar adanya dan lebih percaya dengan Lembaga Pengembangan (Litbang) internal. Pelatihan selanjutnya adalah pelatihan bagaimana menampung asiprasi masyarakat agar sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bukankah jika partai mampu memenuhi demand masyarakat akan mendapat pengakuan (legitimacy) yang lebih yang banyak dari konsituen dan masyarakat, jadi bukan sekedar legalitas menjadi legislator. Jika sekedar legalitas untuk jangka pendek. Namun jika legitimasi berarti orientasi jangka panjang dan masyarakat akan merasa puas dengan keberadaan legislative yang berimbas terhadap kepercayaan terhadap partai. (4) Kriteria senioritas dapat dilihat dari lamanya menjadi anggota partai. Dalam teori pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dikemukakan bahwa jabatan tidak boleh permanen. Pertama masuk partai sebagai anggota , sampai akhir hayat tetap sebagai anggota biasa, tanpa ada jabatan eksklusive yang dimaknai tidak ada promosi. Inilah yang disebut ketimun bungkuk dalam lagu yang populer di daerah Jambi.
———————-
(Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Jambi)